“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):138).
Shibghah, apakah Shibghah itu?? Shibghah artinya adalah tathiir (pensucian) sebagaimana asbabunuzul berikut,
Ibnu Jarir berkata, “Sesungguhnya orang-orang Nasrani bila anak mereka dilahirkan, maka mereka datang kepada pendeta pada hari yang ketujuh, mereka memandikannya dengan air yang disebut ‘al-Ma’mudi untuk membaptisnya. Mereka mengatakan, “Ini adalah kesucian pengganti khitan. Maka apabila mereka telah mengerjakannya jadilah anak itu seorang Nasrani yang sebenarnya.” Maka Allah menurunkan ayat ini”.
Ayat diatas adalah sindiran terhadap kaum Nasrani yang merasa ritual pembaptisan kepada bayi mereka lebih baik dari pada ritual khitan yang biasa dilakukan kaum Muslimin. Tentu saja hal ini tidak benar. Islam mengajarkan bahwa bayi yang baru lahir itu bersih, bebas dari segala dosa. Oleh sebab itu tidak perlu pensucian ( pembaptisan).
“Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muslim).
Fitrah manusia adalah bersih dari segala dosa termasuk dosa syirik yang merupakan dosa terbesar manusia. Tidak ada Tuhan yang disembah melainkan Allah Subhanallahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Satu, Esa, tidak beranak dan diperanakkan.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Terjemah QS. Ar-Rum (30):30)
Dan yang lebih penting lagi cara pembersihan dosa tidak dengan cara baptis melainkan taubat nasuha, yaitu taubat yang benar-benar tidak akan mengulanginya lagi. Itupun bukan dengan cara pengakuan dosa di depan ulama/pendeta atau orang yang dianggap suci seperti yang biasa dilakukan kaum Nasrani. Melainkan langsung kepada Sang Pencipta Allah Azza wa Jala Yang Maha Menerima Tobat, tanpa perlu seorangpun saksi.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, … … “. (Terjemah QS. At-Tahrim (66):8).
Sebaliknya khitan bertujuan untuk kesehatan dan kebersihan tubuh bukan semata kebersihan jiwa. Dan hari ini ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa khitan memang sangat baik bagi kesehatan manusia.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis”.[HR Muslim].
Khitan juga ternyata adalah ajaran para nabi, sejak nabi Ibrahim as hingga nabi Isa as. Jadi khitan sejatinya bukan hanya berlaku untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh pemeluk agama Samawi kalau tidak mau dikatakan untuk seluruh manusia yang peduli kesehatan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”‘Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa” ; Syaikh kami (Ibnu Taymiah) berkata,’Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma’il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya. Wallahu a’lam’.”
Untuk itulah Allah swt menegaskan bahwa shibghah Allah adalah shibghah yang paling baik. Shibghah yang juga berarti celupan. Sibhghah Allah, “celupan Allah” yaitu iman kepada Allah yang diikuti pembuktian tidak hanya ritual menyembah hanya kepada-Nya, tapi juga dengan mentaati semua perintah dan menjauhi segala larangan.
Perumpamaan mudah Shibghah Allah adalah seperti kain dan celupan warna dalam pewarnaan sebuah kain. Untuk mendapatkan warna yang sempurna kain harus dimasukkan ke dalam celupan secara keseluruhan, tidak separuh-separuh. Dan celupannyapun harus benar-benar sesuai dengan warna yang kita inginkan. Dengan demikian setelah kain dikeluarkan dari celupan hasilnya akan benar-benar sempurna. Warnanya tampak jelas, persis seperti celupannya, tidak belang-belang, setengah berwarna setengah tidak.
“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (Terjemah QS. Al-Baqarah (2):208).
Shibghoh Allah adalah dien, komitmen totalitas hidup, ritual maupun non ritual kepada Allah swt, Sang Pencipta. Komitmen yang akan mewarnai hidup kita dengan ajaranNya. Tidak cukup hanya dengan iman di dalam hati tapi juga harus tampak dari luar. Itulah Islam yang kaffah, yang tidak setengah-setengah, tidak tebang pilih ayat yang sesuai nafsu dan keinginan.
Rasulullah terbiasa mengganti nama para sahabat yang bermakna tidak baik, seperti Abdul Uzza yang artinya hamba Uzza. (Uzza adalah nama tuhannya orang jahiliyah). Demikian juga kaum perempuan dengan hijabnya, yang dengan demikian akan lebih mudah untuk dikenali, dan tidak diganggu orang jahat.
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. ( Terjemah QS. Al-Ahzab(33):59).
Ibaratnya adalah seragam suatu sekolah yang membuat pihak sekolah mudah mengenali identitas murid-muridnya, memberikan bantuan dan perlindungan. Sebaliknya seragam juga membawa baik dan buruk nama sekolah.
Begitupun dengan kaum Muslimin. Penampilan harus dibarengi prilaku dan sikap yang Islami, yang sesuai dengan kehendak-Nya, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Al-Hadist.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia akan berbuat zalim.” (HR. Muslim no. 58)
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 12 Desember 2019.
Vien AM.
Leave a Reply