Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808).
Imam Nawawi menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit.
Sementara Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berpendapat yang dimaksud diberi kecukupan pada hadist adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.
Namun dibalik itu semua terdapat hikmah besar yang mendasari turunnya ke 2 ayat istimewa di atas. Yaitu turunnya ayat 284 Al-Baqarah berikut :
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Terjemah QS Al-Baqarah (2):284).
Mendengar itu para sahabat merasa kecil hati, khawatir tidak sanggup menjalankannya. Shalat, puasa, sedekah bahkan jihad mengorbankan diri mereka sanggup menjalaninya. Namun apa yang ada di dalam hati?? Bisikan-bisikan yang bisa jadi berasal dari syaitan yang memang merupakan musuh terberat manusia, sanggupkah manusia menghindarinya??
Para sahabat bagaimanapun adalah manusia biasa yang tidak jarang bisa lengah dan lelah. Mereka juga mempunyai keinginan duniawi bahkan keluarga yang mungkin belum begitu kuat keimanannya. Jadi sungguh wajar bila mereka sangat khawatir ketika harus mempertanggung-jawabkan apa yang terlintas dalam hati mereka.
“Abu Hurairah ra menceritakan, “ Hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah SAW, lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW seraya berlutut di atas lutut masing-masing dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami dibebani amalan yang kami sanggup mengerjakannya seperti: Shalat, Puasa, Jihad dan Sedekah. Sekarang telah diturunkan kepada anda ayat ini ( surat Al-Baqarah ayat: 284), dan kami tidak sanggup.”
Namun apa jawaban Rasulullah??
“Apakah kamu ingin mengucapkan apa yang sudah diucapkan kedua golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kamu; “ Kami dengar dan kami durhakai?”.
Selanjutnya Rasulullah bersabda, katakanlah “ Kami dengar dan kami taati, ampunilah kami ya Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Dan apa pula jawaban para sahabat??
“Mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taati, ampunilah kami ya Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Masya Allah …
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(Terjemah QS, An-Nuur (24):51).
Para sahabat memang bukan tandingan kita. Ketaatan mereka pada Rasulullah benar-benar mengagumkan. Karena mereka memang tahu betul, haqul yaqin, bahwa cucu pemuka Quraisy Abdul Muthalib itu adalah seorang utusan Allah, Tuhan Yang Menciptakan manusia dan seluruh alam semesta ini. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana ayat-ayat diturunkan dan bagaimana Rasulullah menyikapinya.
Dari Rasululah pula mereka mengetahui bagaimana kaum Yahudi dan kaum Nasrani bersikap terhadap ayat-ayat yang diturunkan kepada dua golongan ahli kitab tersebut. Hingga Allah SWT pun mengabadikannya dalam ayat terakhir surat Al-Fatihah, bacaan yang wajib kita baca dalam shalat.
“… … bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Yang dimaksud mereka yang dimurkai ( Al-Maghdhub) dalam ayat di atas adalah orang-orang Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tapi tidak beramal. Sedangkan mereka yang sesat ( Al-Dhoolin) adalah orang-orang Nasrani, mereka beramal tapi tanpa ilmu.
Allah swt mewajibkan kita membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat kita diantaranya agar kita tidak melakukan hal yang sama dengan kedua kaum tersebut. Tak heran bila kemudian Sang Khalikpun menjawab tanggapan dasyat para sahabat dengan yang lebih dasyat lagi. Yaitu dengan turunnya 2 ayat terakhir Al-Baqarah tadi, ayat 285 dan 286 sebagaimana berikut :
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“. ( Terjemah Al-Baqarah(2):285).
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. ( Terjemah Al-Baqarah(2):286).
Allahu Akbar …
Allah Azza wa Jala tidak pernah menyalahi janjinya. Sesuai janji-Nya pada ayat 51 surat An-Nuur bahwa mereka yang berkata “Kami mendengar dan kami patuh”, mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Dengan mengulang ikrar Rasul dan para sahabat yang diabadikan dalam ayat 285, Allahpun melanjutkannya dengan janji tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Masya Allah …
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku terhadap tiga perkara, yaitu keliru, lupa dan dipaksa”. (HR. Ibnu Majah; shahih)
Sungguh alangkah beruntungnya kita … Bayangkan bila apa yang ada dalam hati harus kita pertanggung-jawabkan … Alangkah celakanya …
Dengan begitu Allah swt telah menasikh ( menghapus) ayat 284 dan me-mansubkannya (mengganti) dengan ayat 286, bahwa Allah swt tidak akan memberatkan hamba-Nya yaitu apa yang ada dalam hati seseorang. Hanya niat yang baik yang Allah balas sedangkan niat buruk selama hanya dalam hati Allah tidak menghisabnya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat mengerjakan kebaikan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak.
Dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu sebagai satu keburukan.” (HR. Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131 di kitab sahih keduanya dengan lafaz ini).
Memang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut ayat nasikh-mansub tapi ada pula yang bukan. Masing-masing dengan dalil yang kuat. Tapi sebagai orang awam hal tersebut bukanlah masalah. Yang pasti Allah swt telah menunjukkan kasih sayang-Nya yang begitu besar, terutama bagi orang-orang yang taat pada Allah dan Rasul-Nya. Rahmat Allah lebih luas dari langit dan bumi beserta segala isinya. Sekaligus juga peringatan bahwa Ia mengerahui segala isi hati dan bisikan, yang baik maupun jahat.
Selanjutnya , dalam ayat yang sama ( Al-Baqarah ayat 286) Allah Azza wa Jala mengajarkan bagaimana cara kita memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari segala beban dan kesalahan.
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Ma’afkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Yang juga tak kalah menarik, adalah hadist berikut :
“Lalu siapa, wahai Rasul?,” tanya para sahabat. Lalu Nabi SAW bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”.
Itu adalah jawaban Rasulullah atas pertanyaan “Katakan kepadaku, siapakah makhluk Allah yang paling besar imannya?” yang diajukan kepada para sahabat. Dan itu adalah kita, selama kita terus berada dalam keimanan dan bersiteguh “Kami dengar dan kami taat.”. Allahu Akbar ..
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 23 September 2021.
Vien AM.
Leave a Reply