Sejak beberapa tahun terakhir ini banyak pesantren yang menjadikan panahan sebagai salah satu kegiatan mereka. Kegiatan olah raga yang masuk dalam kategori atletik ini ternyata tidak hanya diminati para santriwan santriwati namun juga para ibu jamaah MT (Majlis Taklim). Dengan penuh semangat para ibu tersebut mencoba mempraktekkan apa yang dicontohkan sang coach panahan yang tak jarang adalah seorang ustadz. Demikian pula kami, MT Raudhatul Jannah beberapa waktu lalu di lokasi panahan Emaki Al-Ma’soem Resort Lembang.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Segala sesuatu yang tidak mengandung dzikirullah padanya maka itu adalah kesia-siaan dan main-main kecuali empat perkara: yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (HR. An-Nasai no.8890). Al-Albani menyatakan bahwa hadits itu shahih (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no.4534).
“Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang, serta memanah,” (HR Bukhari/Muslim). Rasullullah SAW bersabda, ”Lemparkanlah (panah) serta tunggangilah (kuda). ” (HR Muslim)
Hadist di atas itulah yang rupanya yang menjadi penyebab berlombanya kaum Muslimin menjajal olah raga yang melibatkan 3 unsur itu. Yaitu busur yang berfungsi sebagai pelontar, anak panah sebagai pelurunya, dan papan sasaran sebagai tujuan.
Kegiatan memanah sebagai bagian dari kegiatan sehar-hari sudah dikenal sejak awal peradaban manusia. Yaitu sebagai cara untuk melindungi diri dari bahaya binatang buas, selain sebagai perburuan hewan untuk dimakan. Juga dalam peperangan melawan musuh dan pertahanan diri. Namun sebagai sebuah olahraga, panahan ternyata memiliki filosofi yang cukup mendalam, ia tidak hanya dapat membuat tubuh kita bugar, namun juga sarat dengan makna. Simak kisah berikut :
Pada suatu senja yang kelabu, terlihatlah rombongan raja yang baru pulang dari berburu di hutan. Hari itu adalah hari tersial bagi mereka, karena mereka sama sekali tidak membawa hasil buruan. Seolah-olah anak panah dan busur, tidak bisa dikendalikan dengan baik seperti biasanya. Setibanya dipinggir hutan, raja memutuskan untuk beristirahat sejenak di rumah sederhana milik seorang pemburu yang terkenal karena kehebatannya memanah.
Dengan tergopoh-gopoh, pemburu itu menyambut kedatangan raja beserta rombongannya. Ketika berbasa-basi, san pemburu memperhatikan air muka raja yang nampak jengkel dan tidak bahagia. Pemburu itupun lalu menanyakan alasan kejengkelan dan ketidakbahagiaan itu. Tetapi raja malah beranjak pergi tanpa menjawab pertanyaan pemburu trsebut, dan menghampiri sebuah busur tanpa tali yang tergeletak di sudut ruangan. Raja pun mempertanyakan busur yang dilihatnya tanpa tali itu kepada pemburu.
Menjawab pertanyaan raja, pemburupun menjelaskan alasan mengapa tali busurnya sengaja dilepas. Menurut pemburu itu, busur membutuhkan waktu untuk beristirahat. Jadi ketika talinya dipasang kembali, busur itu tetap lentur untuk melontar anak panahnya. Karena menurut pengalaman, tali busur yang terus tegang tidak bisa dipergunakan secara optimal. Raja memuji pengetahuan pemburu yang ahli memanah itu. Dan memang itu yang diajarkan secara turun temurun di keluarga pemburu itu.
Pemburu itu lalu menambahkan bahwa pelajaran lain yang tidak kalah penting yang dilakukan adalah menjaga pikiran. Karena sehebat apapun kita, jika pikiran kita tidak fokus, perasaan kita tidak seirama dengan tangan, anak panah dan busur, maka hasilnya juga tidak akan maksimal untuk mencapai sasaran buruan yang kita inginkan.
Raja terkesima mendengar penjelasan itu. Sedetik kemudian raja pun tertawa dan berterima kasih kepada sng pemburu atas pelajaran berharga yang diberikan. Setelah cukup beristirahat, raja dan rombonganpun pulang setelah dengan perasaan gembira sambil meyakinkan diri bahwa perburuan berikutnya pasti akan berhasil lebih baik.
Kisah di atas menggambarkan dengan jelas bahwa kegiatan memanah perlu persiapan yang matang. Diantaranya emosi dan pikiran yang tenang. Sehebat apapun seorang pemanah bila ia tidak dapat menjaga emosi dan pikiran besar kemungkinan akan gagal mengenai sasaran.
Diperlukan proses panjang untuk menuju keberhasilan. Diawali dengan pemilihan busur yang sesuai dengan kondisi dan keadaan si pemanah, dilanjutkan dengan cara berdiri tegak dengan kuda- kuda yang kokoh, tangan yang kuat dan stabil untuk mengangkat busur ( membidik) lalu menarik anak panahnya kuat-kuat. Terakhir adalah konsentrasi yang tinggi sambil memperhitungkan kekuatan dan arah angin, sebelum akhirnya melepasnya.
Dalam Islam hal tersebut bisa di artikan membidik adalah niat, menarik adalah usaha/ikhtiar dan melepaskannya adalah tawakkal. Seperti juga dalam kehidupan sehari-hari, begitu anak panah dilepaskan kita hanya bisa pasrah, menanti apakah hasil bidikan kita tepat mengenai sasaran atau tidak. Kita sebagai manusia hanya diperintahkan-Nya untuk berusaha secara maksimal, Allah swt lah yang menentukan hasilnya. Yang juga tak kalah penting, yaitu cadangan anak panah yang menjadi bagian wajib peralatan memanah. Ini diartikan sebagai plan B, C, D dan seterusnya. Yaitu ketika target A tidak terpenuhi maka kita harus bersabar, tidak boleh putus asa, dan melanjutkannya dengan anak panah berikutnya.
Tak salah bila ternyata dalam bidang managementpun tidak sedikit perusahaan yang menerapkan filosofi memanah untuk membentuk SDM ( Sumber Daya Manusia) mereka. Tahapan-tahapan memanah terbukti dapat melahirkan manusia-manusia yang berkwalitas.
Sejarah mencatat bagaimana karier seorang Sa’ad bin Waqqash ra, sahabat yang dikenal kepiawaiannya dalam memanah. Konon Sa’ad mampu melepas 8 anak panah sekaligus ke 8 sasaran yang berbeda namun tepat sasaran. Sa’ad adalah satu dari 10 sahabat yang disebutkan Rasulullah saw masuk surga. Ia tergolong ke dalam orang-orang yang pertama masuk Islam atau Assabiqunal Awwalun.
Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin Abdi Manaf adalah paman nabi dari garis ibu yaitu Aminah binti Wahab. Kakek Sa’ad, yakni Wuhaib merupakan paman dari Aminah. Namun usianya jauh lebih muda dari Rasulullah. Ia lahir dari keluarga bangsawan Quraisy kaya raya yang sejak muda belia sudah hobby memanah. Selain dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas ia juga dikenal sangat menyayangi, menghormati sekaligus patuh pada ibunya. Sesuatu yang sangat sesuai dengan ajaran Islam.
Pada usia 17 tahun ia memutuskan memeluk Islam namun ibunya berusaha keras menghalanginya. Selama beberapa hari sang ibu mogok makan dan minum dengan harapan putranya itu mau kembali ke agama nenek moyang mereka. Sa’adpun menjawab tegas bahwa meski ia sangat menyayanginya namun kecintaannya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar lagi.
“Wahai ibu, demi Allah seandainya engkau mempunyai seribu nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah meninggalkan agama ini selamanya,”
Menyadari keteguhan hati putranya sang ibu akhirnya menyerah. Kisah tersebut Allah swt abadikan pada ayat 15 surah Luqman berikut :
“Dan, jika keduanya memaksa untuk mempersatukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
Rasulullah saw sangat menyayangi Sa’ad hingga suatu hari pernah memohon kepada Allah swt agar selalu mengabulkan apapun permintaan Sa’ad. Rasulullah juga pernah menyemangati Sa’ad yang senantiasa setia berperang melawan musuh-musuh Islam agar terus memanah dengan tebusan ke dua orang-tuanya. Sesuatu yang tidak pernah dikatakan Rasullah kecuali kepada Sa’ad. Namun bagi bangsa Arab adalah sesuatu yang biasa dikatakan sebagai tanda kehormatan.
“Lepaskanlah panahmu, wahai Sa’ad! Tebusanmu adalah ayah dan ibuku!” kata Rasulullah saat Perang Uhud,
Di kemudian hari Sa’ad kerap memperkenalkan dirinya dengan mengatakan “Aku adalah orang ketiga yang memeluk Islam dan orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.”
Sa’ad pernah menjabat sebagai penglima perang bersama Khalid bin Walid ra dalam penaklukan Persia dan membebaskan ibu kotanya, Kisra. Ia juga pernah menjadi amir (gubernur) d Kufah Persia. Khalifah Ustman bin Affan ra pada 651 H bahkan mempercayakan Sa’ad sebagai duta negara untuk tanah Tiongkok. Ia menjalankan tugas tersebut dengan sangat baik hingga ajaran Islampun mampu menyebar di negri tirai bambu tersebut. Sa’ad diterima kaisar Gaozong, penguasa Dinasti Tang saat itu dengan tangan terbuka. Meski demikian, Sa’ad adalah orang yang sering menangis karena takut kepada Allah. Setiap kali mendengar Rasulullah memberi nasihat dan berkhutbah di hadapan para sahabat, maka air matanya selalu berlinang.
Abdullah bin Amr bin ‘Ash pernah mendekati Sa’ad dan memintanya agar mau menunjukkan ibadah dan amalan apa yang ia lakukan dalam mendekatkan diri kepada Allah sehingga Rasulullah menjaminnya menjadi penghuni surga.
“Tidak lebih dari amal ibadah yang biasa kita lakukan. Namun, aku tidak pernah menyimpan dendam maupun niat jahat kepada siapa pun,” jelas Sa’ad.
Kesuksesan Sa’ad bin Waqqash di dunia maupun di akhirat, tersebut tak syak lagi pasti ada pengaruh dari hobbynya memanah sejak muda belia. Hobby yang mampu mengajarkannya bahwa hidup ini harus mempunyai target dan tujuan yang jelas. Karakternya yang pandai menjaga emosi, berpikir dengan tenang berhasil membukakan pintu Islam baginya. Dan dengan kekuatan fisiknya ia mampu berjuang gigih membela ajarannya. Ditambah dengan akal yang selalu diasah mengantarkannya ke puncak karirnya, dengan izin Allah swt tentunya.
Sungguh benar apa yang dikatakan Rasululah “ Ajarilah anak-anakmu memanah”, karena banyak sekali hikmah yang didapat dari kegiatan ini. Semoga tanpa perlu menunggu terlalu lama akan lahir Sa’ad-Sa’ad yang mampu mengembalikan kejayaan Islam seperti di masa lalu, aamiin yaa robbal ‘alamiin.
Wallahu’alam bi shawwab.
Jakarta, 25 November 2021.
Vien AM.
Leave a Reply