Devide et Impera adalah kosa kata bahasa Spanyol (atau Prancis ??)yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan pecah belah atau adu domba. Devide berarti memecah belah, et berarti dan, impera berarti menguasai.
Devide et Impera digunakan untuk menunjuk sebuah strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis sejak abad 15. Bangsa-bangsa Eropa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah khatulistiwa, seperti Indonesia.
Caranya yaitu dengan menimbulkan perpecahan di wilayah yang dituju hingga mudah untuk dikuasai dan ditaklukkan. Atau dengan mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat hingga berpotensi mengadakan perlawanan. Dengan cara inilah Belanda berhasil menguasai negara kita tercinta. Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang luas, komunikasi dan transportasi antar pulau yang sulit, terpaksa takluk tak berkutik.
Hanya atas izin Allah swt, dengan memanfaatkan momen kalahnya Jepang pada PD II, perjuangan panjang para pejuang akhirnyapun membuahkan hasil. Pada 17 Agustus 1945, di rumah Faradj Martak, seorang pengusaha Arab Indonesia kelahiran Yaman, Soekarno – Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Di pekarangan rumah jalan Pegangsaan Timur ( sekarang jalan Proklamasi) no 56 Jakarta Pusat yang kemudian dihibahkan kepada pemerintah Indonesia tersebut itulah berkibarlah bendera Merah Putih untuk pertama kalinya. Rumah tersebut sekarang telah berubah menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan.
Kini kita telah merdeka, lepas dari penjajahan. 75 tahun berlalu sudah, namun benarkah kita bisa benar-benar lepas dari strategi pecah belah tersebut?? Strategi yang seiring dengan berjalannya waktu telah mengalami perkembangan. Pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun telah menjadi strategi politik, yang menggabungkannya dengan strategi militer , ekonomi dan budaya.
Tak dapat dipungkiri penduduk Indonesia beberapa tahun belakangan ini dalam keadaan terpecah, yaitu sejak adanya kasus Al-Maidah. Kasus Al-Maidah adalah kasus yang disebabkan pernyataan Basuki Cahaya Purnama (Ahok) yang ketika itu menjabat sebagai gubernur DKI, bahwa orang Indonesia tidak boleh dibohongi oleh orang-orang yang menggunakan surah Al-Ma’idah ayat 51 supaya tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin mereka. Pernyataan kontrovesial ini terjadi pada tahun 2016 di kepulauan pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, di hadapan pada para nelayan dan penduduk lokal lainnya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Kasus tersebut tentu saja memicu kemarahan kaum Muslimin yang merupakan mayoritas penduduk. Maka terjadilah demo yang melibatkan jutaan orang, menjadikannya demo terbesar yang pernah terjadi di seantero dunia. Demo yang kemudian dikenal dengan nama Aksi Damai 4 November (411) dan Aksi Damai 2 Desember (212) ini diikuti tidak saja umat Islam namun juga mereka yang merasa bahwa pernyataan tersebut sangat tidak pantas, dan berpotensi memecah persatuan. Aksi Damai yang selanjutnya diperingati tiap 2 Desember sebagai Reuni 2012 ini menuntut penahanan Ahok atas tuduhan menista dan menghujat Al-Qur’an.
Ahok memang akhirnya menjalani vonis penjara namun dampak dari pernyataannya ternyata masih terus bergaung bahkan lebih hebat lagi. Penduduk Indonesia hingga saat ini bisa dibilang terpecah menjadi 2 kelompok. Perseteruan antara pemilih Jokowi dan Prabowo pada pilpres 2019 seolah mencerminkan antara pembela dan penentang Ahok. Lebih parah lagi pembela Ahok diposisikan sebagai Pancasilais, cinta NKRI dll. Sebaliknya penentang Ahok adalah kaum Muslimin pro kekhalifahan pemecah NKRI yang ingin men-Suriah-kan Indonesia. Ada apakah gerangan???
Isu ini terus digodog dengan berbagai cara hingga makin lama makin terkuak bahwa sejatinya Islamlah sasaran tembak. Namun yang lebih menyedihkan lagi banyak kaum Muslimin yang tidak menyadarinya.
Tengoklah berbagai prilaku dan pernyataan yang memojokkan Islam. Contohnya ditangkapinya sejumlah ulama oleh petugas khusus yang menangani masalah terorisme hanya karena alasan pernah di Afganistan, pernah memberi bantuan ke Suriah dll. Pernyataan jangan merasa bahwa agama hanya Islam yang benar, berdoa tidak perlu harus bahasa Arab, berbusana tidak perlu meniru bangsa Arab dll. Bahkan dimunculkan pula Islam Nusantara sebagai Islam yang sesuai dengan orang Indonesia. Inilah Devide et Impera gaya baru yang harus kita waspadai. Siapa sebenarnya yang paling diuntungkan bila kita berpecah belah???
Saat ini umat Islam di seluruh penjuru dunia memang sedang dalam keadaan terpuruk. Cahaya Islam nyaris tidak menampakkan semburatnya. Budaya Barat mulai dari cara pergaulan, cara berpakaian hingga sistim ekonomi yang jauh dari syariah telah merasuki kehidupan sebagian besar kaum Muslimin dimanapun berada. Belum lagi isu teroris yang terus dihembuskan musuh-musuh Islam. Membuat kaum Muslimin makin tidak percaya diri. Lupa, bahwa delapan abad lamanya Islam pernah menguasai dunia, menjadi negara super power layaknya AS saat ini.
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu“. ( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):109).
Thomas W. Arnold (1864-1930), seorang orientalis berkebangsaan Inggris dalam bukunya “The Preaching of Islam” mengungkapkan bahwa satu di antara faktor suksesnya Islam adalah ketinggian moral umat Islam dibandingkan dengan umat Kristen. Disamping juga kemakmuran rakyatnya. Hingga rakyat Italiapun ingin menjadi bagian dari Turki Ustmani melihat tetangga mereka, Yunani, menjadi makmur dibawah kekhalifahan Islam tersebut. Bahkan perseteruan antara sesama umat Kristen yang sebelum sering terjadi, menjadi sangat berkurang. Ini membuktikan betapa toleransinya umat Islam.
Bukan rahasia lagi bahwa salah satu kunci utama kejayaan Islam adalah kuatnya persatuan dan persaudaraan sesama Muslim. Hal ini diketahui musuh-musuh Islam. Tak heran bila akhirnya musuh-musuh Islam menggunakan politik Devide et Impera untuk menjatuhkan Islam. Diantaranya yaitu dengan cara menggunakan isu kebangsaan, persamaan hak, demokrasi, HAM dll.
Ditambah lagi dengan adanya peristiwa 911 yang menyudutkan umat Islam hingga melahirkan Islamophobia akut, tidak hanya bagi orang lain tapi terlebih lagi sebagian umat Islam sendiri. Padahal tidak sedikit orang Barat yang justru memeluk Islam setelah tragedy mengerikan tersebut karena rasa penasaran.
Pertanyaannya sampai kapan kaum Muslimin mau terus diperlakukan seperti ini?? Tidak dapatkah kita bersatu menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan Islam seperti di masa kejayaan Islam? Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah, Islam yang kaffah yaitu yang tidak memilih-milah ayat sesuai hawa nafsu dan keinginan, Islam yang benar-benar rahmatan lillalamin, Islam yang penuh kedamaian, yang tidak hanya milik kaum Muslimin namun juga pemeluk agama lain yang menginginkan hal yang sama, dan juga seluruh isi dunia ini, termasuk binatang, tumbuhan dan alam ini.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Terjemah QS. Al-Hujurat(49):13).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 13 Desember 2021.
Vien AM.
Leave a Reply