Satu setengah tahun setelah pemerintah Perancis berhasil meng-gol-kan larangan pemakaian burqa dengan denda hingga 150 euro atau sekitar Rp1,8 juta bagi pelanggarnya, kini larangan baru bagi kaum Muslimin kembali muncul. Kali ini adalah shalat di jalanan. Aturan ini berlaku sejak Jumat, 16 September yang baru lalu.
Padahal kebijakan mengenai larangan burka yang terdahulupun telah memancing reaksi negatif sejumlah pengamat Barat. Diantaranya Laurent Booth. Saudara perempuan istri mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair ini, dalam wawancaranya dengan IRNA, menepis klaim para pejabat Perancis bahwa kaum perempuan yang mengenakan burka merupakan ancaman teror dan keamanan.
Dikatakannya, “Kaum perempuan berjilbab sebetulnya memang merupakan ancaman bagi negara-negara Barat. Namun ancamannya tidak dalam bentuk kekerasan seperti yang diklaim oleh para politisi Barat, melainkan karena busana Muslimah pada hakikatnya telah menyoal kebebasan kaum perempuan di Eropa dan Amerika.”
Adalah Claude Guéant. Menteri dalam negeri pimpinan Nicholas Sarkozy ini menilai bahwa perkembangan Islam yang terjadi di negrinya kini telah memasuki tahapan serius. Contohnya yaitu tadi, shalat di jalanan. Menurutnya perbuatan ini disamping mengganggu kenyamanan dan keamanan nasional juga dianggap sebagai isu sensitif yang menyakitkan hati. Karena keyakinan keberagamaan tidak untuk diperlihatkan kepada umum. Intinya, shalat di muka umum adalah bertentangan dengan prinsip laicite ( sekulerisme) yang dianut negri itu.
“Harus ada cara untuk menghentikan shalat berjamaah di jalanan, dan saya secara pribadi memprioritaskan penggunaan “kekuatan” dalam menjalankan ketentuan tersebut », tegas politikus yang dikenal anti Islam tersebut.
Padahal pada acara makan malam yang diselenggarakan sebuah institusi elit Yahudi yang dihadirinya pada bulan Juli lalu, ia menyatakan keinginannya agar hari besar Yahudi dicantumkan pada kalender nasional. Ia juga menginginkan agar pada hari itu tidak ada satupun ujian atau kegiatan belajar mengajar.
Sebaliknya, asal tahu saja, dengan alasan laicite pula, sejak dahulu tidak ada satupun hari besar Islam yang dicantumkan di kalender Perancis. Malah hari Jum’atpun, bagi sebagian besar sekolah adalah hari ujian. Sebuah kebetulan ? Entahlah ..
” Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS.Al-Jumu’ah(62):9).
Berdasarkan pegamatan, pelaksanaan shalat berjamaah, terutama shalat Jumat di jalanan, sejak 10 tahun terakhir ini memang makin mencolok. Namun hal ini bukannya tanpa alasan yang jelas. Perkembangan jumlah Muslim di negri ini tampak jauh lebih pesat dari pembangunan masjid yang merupakan rumah ibadah agama ini. Populasi Muslim Perancis saat ini dikabarkan telah mencapai hampir 6 juta jiwa.
Dalil Baobakeur, pengurus Masjid Agung Paris, memperkirakan Muslim Perancis membutuhkan 4.000 masjid baru. Sementara baru 2.200 masjid yang ada dan tengah dibangun di seluruh negeri. Bahkan masjid terbesar di Paris yang berkapasitas 2000 jamaah yang diurusnya itu, saat ini sudah tidak mampu lagi mengatasi membludaknya jamaah shalat Jumat. Akhirnya merekapun terpaksa melaksanakan kewajiban shalat seminggu sekali tersebut di jalanan sekitar masjid.
“Sayang, negara ini memisahkan agama dan negara. Artinya dana pemerintah tidak bisa digunakan untuk pembangunan rumah ibadah. Umat harus berusaha sendiri untuk membangun tempat ibadah mereka. Itupun tergantung izin lingkungan yang konon paling berat untuk dipenuhi,” paparnya.
Di sebuah kawasan padat Muslim di kota Paris dimana berdiri dua buah masjid kecil, terjadi kesepakatan antara aparat yang berwenang dengan pengurus masjid. Jamaah yang biasa shalat di jalanan sekitar masjid karena kedua masjid tidak mampu menampung jamaah, diizinkan memanfaatkan sebuah bangunan bekas pemadam kebakaran dan gudang tentara sebagai tempat shalat berjamaah. Bangunan seluas 2000 meter persegi ini diperkirakan mampu menampung 3000 hingga 4000 jamaah.
Sayangnya, bangunan tersebut terletak jauh dari lokasi masjid lama. Sementara kedua masjid sengaja ditutup selama 3 atau 4 minggu dengan tujuan agar jamaah terbiasa shalat di tempat baru. ( Berita terbaru, dari papan pengumuman, kami baru tahu, ternyata di lokasi masjid lama akan di bangun Pusat Kultur Islam, yang bakal dibiayai pemerintah. Dibiayai pemerintah karena bangunan yang bakal didirikan adalah bangunan kultural, tidak ada hubungan dengan agama, menurut mereka. Sementara ruang shalat dibiayai oleh pihak swasta. Bukan masalah .. insya Allah, pikir saya menyenangkan diri .. 🙂 ).
Berbagai reaksipun bermunculan, ada yang pro ada yang kontra. Yang merasa puas, mengatakan lebih baik shalat di tempat tertentu meski tidak memadai dari pada shalat di jalanan, dikejar-kejar dan mengganggu umum. Sementara sebagian lain merasa “ pemerintah telah dengan semena-mena merebut hak dan kebebasan individu untuk menjalankan keyakinan seseorang”.
Tiba-tiba saya teringat kejadian tahun lalu yang menimpa anak perempuan saya. Ketika itu saya dan suami meminta wali kelas anak kami tersebut agar menyediakan tempat shalat untuk anak kami. Iapun menjawab akan menanyakan pihak yang berwenang. Esok paginya ia menjawab, ” Silahkan menggunakan ruangan saya saja”.
Namun belum sempat putri kami melaksanakan shalat, siangnya ia meralat sendiri jawabannya. Alasannya kalau ia mengizinkan putri kami shalat nanti yang lain juga menuntut. ” Shalat saja di halaman sekolah”, begitu jawabnya tanpa perasaan. Yaaah .. namun dari sini akhirnya kami jadi tahu ternyata ada murid Muslim lain disekolah tersebut. Merekapun pasti terpaksa shalat secara sembunyi-sembunyi … 😦 ..
(bersambung)
Leave a Reply