“ … Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(QS.Ali Imran(3):97).
Ayat ini menunjukkan bahwa pergi ke Baitullah, minimal sekali dalam hidup, dalam rangka menunaikan haji adalah wajib, bagi mereka yang mampu, yaitu yang sanggup mengadakan perjalanan ke tempat suci tersebut. Ibadah ini adalah merupakan rukun ke lima atau rukun terakhir dari Rukun Islam.
Alhamdulillah kami telah melaksanakan panggilan ini 11 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2000. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kewajiban ini hanya berlaku sekali dalam hidup seorang Muslim. Oleh karenanya tidak pernah terlintas dalam hati ini untuk mengulanginya kembali. Namun dengan berlalunya waktu dan juga mungkin dengan bertambahnya ilmu, keinginan mengulang berhaji ini kembali tumbuh. Sebenarnya ini bukan keinginan yang tiba-tiba. Karena sebenarnya sejak lama ada beberapa hal yang memang masih mengganjal dalam hati. Diantaranya yaitu soal miqat dan mabit di Muzdalifah.
Ketika kami menjalankan haji pada tahun 2000 itu, miqat kami laksanakan di airport Jedah. Sebenarnya waktu itu suami sudah ragu, karena itu berarti kita telah melewati miqat ketika kita terbang diatasnya. Menanggapi ini sang pembimbing haji hanya mengatakan : “ Repot dong pak, kalau semua jamaah harus ber-ihram di pesawat. Apalagi bapak sebagai ketua kelompok, jangan kasih contoh begitu, nanti yang lain ikut-ikut”.
Sebagai orang awam, terpaksa kami menuruti nasehat tersebut. Dengan berat hati kami ber-ihram di bandara Jedah, menjadikannya sebagai tempat miqat. Demikian pula sebagian besar jamaah di pesawat tersebut. Hanya sebagian kecil yang tetap berkeras ber-ihram di dalam pesawat, tepat ketika pesawat lewat di atas Yalamlam, salah satu miqat yang disebutkan Rasulullah. Namun tak urung, hingga bertahun-tahun kemudian peristiwa tersebut tetap mengganjal dalam hati kami berdua. Kami merasa hal ini tidak benar. Ingin rasanya mengulangi lagi haji kami.
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan Dzul Hulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Al-Juhfah bagi penduduk Syam, Qarnul Manazil bagi penduduk Najd, dan Yalamlam bagi penduduk Yaman. Miqat-miqat itu bagi penduduk negeri itu, dan selain mereka yang melewatinya untuk pergi haji atau umrah. Dan orang yang kurang dari jarak itu maka dia berihram dari tempat dia memulai, sampai penduduk Makkah berihram dari Makkah.”(HR. Bukari Muslim)
Sementara masalah mabit di Muzdalifah. Ketika teman2 bertukar pengalaman tentang masalah haji, tidak jarang mereka mengatakan bahwa mereka mabit alias bermalam di Muzdalifah. Di bawah luasnya langit yang terbuka lebar di atas kepala, karena para jamaah memang bermalam bukan di dalam tenda seperti di Mina atau Arafah, kekuasaan Allah swt yang begitu hebat itu makin terasa.
Kami hanya bengong, terpana. Kami tidak melakukan hal tersebut. Kami hanya berhenti sebentar untuk mengambil batu kecil guna keperluan melempar Jumrah untuk esok harinya. Selanjutnya kami kembali duduk di bus dan menanti beberapa saat hingga melewati tengah malam. Setelah itu bus berangkat meninggalkan Muzdalifah menuju perkemahan Mina. Saya tidak ingat berapa lama atau pukul berapa kami memasuki Muzdalifah. Yang pasti saya ingat, ketika itu banyak bus melakukan hal yang sama dengan kami. Muzdalifah dalam benak saya ketika itu adalah sebuah tanah lapang di tepi jalan raya yang diterangi lampu-lampu.
Sepengetahuan kami ketika itu, yang dimaksud mabit di Muzdalifah adalah berhenti sejenak di tempat tersebut hingga melewati tengah malam. Setelah itu kami harus segera menuju Mina. Namun pengalaman spiritual tidur dibawah langit luas nan indah tanpa apapun yang menghalangi, sebagaimana dicontohkan Rasulullah, tak urung membuat kami merasa ada yang ‘kurang’ dalam haji kami.
Tetapi mengingat begitu banyaknya calon haji dari negri tercinta yang harus mengantri bertahun-tahun untuk dapat memenuhi panggilan-Nya, hati kamipun menciut. Disamping tentu saja, biaya yang tidak sedikit dan waktu cuti yang harus diambil suami, membuat kami terpaksa mengubur jauh-jauh keinginan menggebu tersebut.
Keinginan mengulang haji muncul lagi pada tahun 2010, setahun setelah suami ditempatkan kembali di Perancis, tepat 10 tahun setelah keberangkatan haji pertama. Waktu itu kami berpikir, anak-anak sudah besar, berarti tidak ada masalah tentang mereka seperti dulu, yaitu harus dititipkan ke eyangnya. Kedua, dengan pergi haji melalui Perancis, berarti kami tidak menzalimi saudara-saudari kami di tanah air yang berniat melaksanakan haji. Yang ketiga, suami mendapat kesempatan untuk memba’dalkan ayah (alm) yang ternyata menurut ibu, semasa hidupnya pernah berniat untuk melaksanakan haji namun batal karena suatu sebab yang tidak dapat dihindari.
Setelah mencari informasi kesana kemari, akhirnya kami memutuskan untuk pergi haji pada musim haji 2011 yang jatuh pada bulan November lalu. Sejak awal tahun kami sudah ingin mendaftar. Tetapi hanya mendapat jawaban bahwa pendaftaran haji baru dibuka menjelang bulan Ramadhan, berarti hanya 2 bulan sebelum musim haji. Wah … bandingkan dengan di tanah air yang harus mengantri bertahun-tahun.
Singkat cerita, pertengahan Ramadhan akhirnya kamipun terdaftar resmi sebagai calon haji 2011, Alhamdulillah… Kebetulan pada bulan suci tersebut kami pulang ke tanah air. Jadi kami bisa berbelanja kebutuhan haji. Saya bahkan secara tidak sengaja menemukan sebuah paket persiapan haji berisi sabun, odol, krim muka dan beberapa tetek bengek perlengkapan kecantikan lain yang sama sekali tidak mengandung pewangi. Sesuatu yang memang dilarang ketika kita dalam keadaan ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah.
Disamping itu, kami juga menyempatkan diri untuk bertemu dengan uztad yang kami percaya dapat membimbing kami berhaji. Meskipun ini bukan haji kami yang pertama kami tetap merasa perlu mendapatkan bimbingan haji. Apalagi bimbingan haji dimana kami akan bergabung nanti memang hanya menjanjikan dua kali pertemuan. Itupun hanya pada pertemuan pertama saja yang membahas manasik, dalam bahasa Perancis pula, yang bukan bahasa sehar-hari kami. Pertemuan berikutnya untuk membicarakan masalah tehnis.
Maka ketika kami kembali ke Paris, bersama dengan pasangan keluarga Indonesia lain yang kebetulan juga akan pergi menunaikan haji, kami mengundang uztad Indonesia yang sedang belajar di negrinya Sarkozy ini untuk manasik haji. Pada pertemuan ini ada 2 pelajaran baru yang kami dapatkan.
Pertama tentang masalah waris. Menurut uztad yang membimbing kami, pergi haji pada dasarnya adalah memenuhi panggilan Sang Khalik. Artinya kita memang harus siap bila sewaktu-waktu Allah swt mencabut nyawa kita. Itu sebabnya calon haji dianjurkan untuk membuat warisan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Yang kedua, sebenarnya bukan hal baru, yaitu mengundang keluarga dan handai taulan dalam rangka keberangkatan ke tanah suci. Tentu kita sering mendengar undangan semacam ini, katakanlah syukuran haji atau walimatus safar. Pada haji pertama kami dulu, kami memang melakukan hal ini. Tetapi terus terang tanpa memahami maknanya, kami hanya mengikuti tradisi dan kebiasaan saja. Nah, baru kali inilah saya mendengar alasannya, yang pada dasarnya sama dengan hal pertama, yaitu dalam rangka mengantisipasi ‘kepulangan’ kita ke hadirat-Nya. Pada kesempatan tersebut, kita dianjurkan untuk meminta maaf sekaligus memaafkan kesalahan tamu yang kita undang tersebut, yaitu tetangga, keluarga dan para handai taulan.
Namun seperti juga acara tahlilan, acara syukuran seperti ini sebenarnya masih menjadi bahan perdebatan para ulama. Sebagian menyebutnya sebagai perbuatan mengada-ada alias bid’ah. Dalam kesempatan ini saya tidak ingin memperpanjang hal yang bukan merupakan hak saya. Wallahu’alam bish shawwab.
Selanjutnya, sekitar 3 minggu sebelum keberangkatan, saya menerima undangan silaturahmi dari pihak Kedutaan. Ini adalah acara rutin bulanan yang diselenggarakan persatuan ibu2 Kedutaan Perancis untuk mengumpulkan masyarakat Indonesia yang tinggal di Paris dan sekitarnya.
Berangkat dari keyakinan, bahwa meminta maaf dan memaafkan bisa kapan saja, sekaligus untuk kepentingan dakwah, maka sayapun datang memenuhi undangan tersebut. Dalam kesempatan baik tersebut saya meminta pihak tuan rumah agar memberikan saya kesempatan untuk secara resmi pamit, meminta maaf dan mohon di doakan agar keberangkatan saya bersama suami ke tanah suci diridhoi Allah swt. Semoga Allah swt bukan mencatatnya sebagai perbuatan riya, Na’udzubillah mindzalik …
Tak lama setelah saya kembali dari podium ke tempat saya tadi duduk, beberapa ibu menghampiri saya. Mereka menyelamati, mendoakan dan sebagian ada yang meneruskan dengan perbincangan mengenai haji. Banyak diantara ibu2 tersebut yang jujur saja, saya tidak begitu mengenalnya. Jumlah masyarakat Indonesia di Paris dan sekitarnya memang cukup banyak. Jadi lumrah saja kalau kita tidak saling mengenal. Banyak diantara mereka yang menikah dengan pria Perancis.
Dan mungkin karena sudah lama tinggal di Perancis, banyak di antara ibu itu penampilannya sudah seperti ‘bule’ ; rambut pirang, baju terbuka disana-sini, rok mini lengkap dengan sepatu boot tingginya. Bahkan ada pula yang bertattoo. .. 😦 ..
Itu sebabnya kaget juga saya, ketika ibu dengan penampilan seperti tadi itu bercerita : “ ibu saya dulu hampir tiap tahun selalu pergi haji. Tapi sekarang dia udah mati dan dikubur di Mekah “. “ Waduh, ibu udah lama tinggal di sini yaa … kalau orang yang meninggal jangan dibilang mati buu, apalagi ini ibu sendiri .. meninggal. Mati itu kasar, untuk binatang”, sambil menahan geli, saya menanggapi ibu tersebut. Si ibu hanya manggut-manggut.
“ Kalau ibu sendiri … Muslim ?”, tanya saya hati-hati. “ Iya”, jawabnya lagi.
“Alhamdulillah …”, saya berkata, sambil mencoba melirik tattoo di punggungnya. Miris hati ini.
Lain lagi cerita ibu yang satu lagi, « Seneng ya, bisa pergi haji ».
« Alhamdulillah », jawab saya pelan. « Ibu sudah ? », tanya saya setengah khawatir salah bertanya.
“ Ah boro2”, jawabnya sambil melengos. “ Sembahyang aja ngga’ pernah koq .. ».
« Waduuh ..” , gimana menanggapinya yaa .. Apalagi si ibu tadi kelihatan jelas tidak ingin memperpanjang percakapan. Saya hanya bisa terdiam dan kemudian berlalu. « Menyedihkan sekali », pikir saya sedih.
Saya hanya bisa berharap, semoga kehadiran saya di acara ini mampu mengingatkan saudara-saudari kita sesama Muslim akan kewajiban mereka yang mungkin selama ini lupa saking asiknya menikmati keindahan kota Paris. Shalat, zakat, puasa, menunaikan haji dll.
Saya yakin, para ibu tersebut pasti hidup dalam kecukupan. Kalau tidak, mana mungkin mereka betah bertahun-tahun tinggal di Perancis. Saya tidak tahu, apakah suami mereka Muslim atau bukan. Bila bukan, ntahlah .. saya tidak berani berkomentar. Yang pasti pasangan hidup ( baik suami ataupun istri), anak dan harta adalah cobaan. Bahkan mungkin cobaan terbesar dalam hidup. Karena mereka sangat berpotensi memalingkan kita dari mengingat kehidupan akhirat, berzikir kepada Allah swt, Sang Khalik.
“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; … … … Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar”.(QS.At-Taghabun(64):14-15).
( Bersambung).
Wallahu’alam bish shawwab.
Vien AM.
8 Desember 2011.