Kami di Madinah hanya 3 hari, 2 malam. Waktu yang benar-benar sangat singkat. Apalagi kalau dibanding jamaah haji dari Indonesia yang biasanya bermalam di Madinah minimal 8 – 9 malam. Orang mengenalnya dengan sebutan Arbain yang artinya adalah 40. Tujuannya agar jamaah dapat shalat jamaah 40 kali berturut-turut di masjid Nabawi tanpa terputus. Artinya shalat wajib berjamaah 5 kali sehari semalam selama 8 hari di masjid rasulullah. Meski sebenarnya ke-shahih-an hadis mengenai hal ini masih merupakan perdebatan di kalangan ulama.
Dari Anas bin Malik yang diriwayatkan secara marfu’ bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang shalat di masjidku (nabawi) sebanyak 40 kali shalat tidak terlewat satu kali pun, maka telah ditetapkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari adzab dan kemunafikan.” (HR Ahmad dan At-Tabarany).
Berikut penjelasannya,
http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1195534045
Salah satu keutamaan shalat di masjid Nabawi adalah dengan adanya Raudhah. Raudhah yang artinya taman atau kebun itu merupakan bagian kecil dari masjid dimana makam Rasulullah berada.
“Dari Abi Sa’id al-Khurdri ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tempat di antara kubur dan mimbarku ini adalah Raudhah (kebun) di antara beberapa kebun surga”. (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Dari luar, Raudhah mudah diamati berkat adanya kubah berwarna hijau yang terletak di bagian selatan masjid, yang merupakan bagian depan masjid. Dari dalampun bagi jamaah lelaki mungkin tidak sulit menemukan tempat yang selalu dipadati jamaah ini. Bahkan untuk ziarah ke makam Rasulullahpun memungkinkan karena di sisi depan makam tersebut disiapkan semacam gang bagi para peziarah.
Sayangnya tidak demikian dengan jamaah perempuan. Selain tidak dibuka setiap waktu, jamaah perempuan juga harus puas menikmati sebagian Raudhah tanpa dapat melihat sisi depan makam Rasulullah. Tidak juga mihrab dan mimbar Rasulullah. Namun demikian ini masih lumayan karena musim haji tahun ini kaum perempuan mendapat tambahan waktu untuk mengunjungi Raudhah. Yang tadinya 2 x sehari menjadi sehari 3 kali, yaitu setelah subuh, setelah asar dan setelah isya. Meski nyatanya tetap tidak memadai.
Seorang jamaah dari Turki yang memberitahu saya jadwal tersebut. Ketika itu saya baru selesai shalat zuhur dan akan kembali ke hotel ketika tiba—tiba menyadari bahwa saya belum tahu jadwal terbaru kunjungan ke Raudhah. Saat itulah seseorang dengan wajah ramah lewat di depan saya. Maka sayapun bertanya kepadanya.
Awalnya ia tidak memahami apa yang saya tanyakan. Namun setelah beberapa waktu, melalui bahasa isyarat dan sedikit bahasa Inggris yang terbata-bata, akhir iapun mengerti maksud saya. Dengan tersenyum lebar ia segera mengeluarkan kertas dan pen dari tasnya. Kemudian ia menuliskan jadwal yang saya minta lengkap dengan no pintunya. Pintu 25. Inilah pintu khusus bagian perempuan untuk menuju Raudhah.
Dalam waktu saya yang sangat singkat di Madinah ini, yaitu 3 hari, empat kali saya mencoba masuk Raudhah. Pertama saya mencobanya pada hari pertama setelah usai shalat Isa. Untuk menuju pintu 25 tidak ada masalah. Segera saya larut dalam lautan jamaah yang berdesakan mengantri di depan sebuah pagar pembatas antara jamaah lelaki dan perempuan. Pagar pembatas setinggi 2 meter ini masih ditutup dan dijaga beberapa askar perempuan. Sebenarnya tidak ada tanda bahwa tempat tersebut adalah tempat menuju Raudhah. Saya hanya sekedar mengikuti arus dan percaya saja pada sesama jamaah yang mengatakan bahwa itu adalah tempat menuju Raudhah. Namun setelah menanti dalam antrian yang tidak jelas selama nyaris 2 jam akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan antrian tersebut.
Saya katakan tidak jelas karena para askar dengan nada tinggi berulang kali berusaha membubarkan antrian tanpa alasan yang dimengerti karena mereka menggunakan bahasa Arab. Sementara para jamaah yang sebagian besar memang tidak berbahasa Arab terlihat ‘ngeyel’ dan bertahan di posisi masing-masing. Tidak jarang terjadi adu mulut antara jamaah dan askar.
Sekitar 1 jam setelah itu, setelah saya makan malam, saya kembali menuju Raudhah. Kali ini saya bersama 3 orang teman dari grup. Dua diantara mereka adalah anak dan ibu mertua. Si anak adalah seorang perempuan asli Perancis. Sementara ibu mertuanya asli Maroko. Dan yang seorang lagi seorang perempuan campuran Perancis dan Aljazair. Di negri pimpinan Zarkozy yang saat ini mulai digonjang-ganjing itu, memang banyak sekali turunan Maroko, Aljazair dan Tunisia. Maklum, ke tiga negara Arab di utara benua Afrika ini dulunya memang jajahan Perancis.
Setibanya di depan pintu 25, saya meminta ke 3 teman saya tersebut untuk menunggu sebentar. Karena sebelumnya saya sudah berjanji kepada seorang teman Indonesia yang juga berangkat dari Paris untuk bersama-sama masuk Raudhah.
Namun tampaknya ibu mertua teman saya yang sudah lumayan sepuh itu, tidak sabar, atau bisa jadi memang tidak mengerti maksud saya. Tanpa babibu, ia langsung masuk masjid dan menyelinap di antara orang banyak. Yang paling panik tentu saja, si menantu. Segera ia mengejarnya. Dapat dibayangkan, punya ibu mertua yang hanya berbahasa Arab sementara ia sendiri hanya berbahasa Perancis. Susahnya lagi, si ibu lumayan keras kepala. Saya benar-benar salut kepada teman saya yang selalu tampak berusaha mengerti kemauan mertuanya itu. Tak jarang ia meminta jamaah lain yang bisa berbahasa Arab agar menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.
Akibatnya ketika tak lama kemudian teman Indonesia saya datang bersama seorang temannya yang juga orang Indonesia, kami ber-4 terpaksa ikut sibuk mencari mertua teman saya tadi. Namun karena semua jamaah menuju satu titik, yaitu Raudhah maka tak lama kemudian kamipun menemukan pasangan menantu mertua tersebut.
Berbeda dengan bada’ isya tadi, antrian di depan pagar pembatas dimana tadi saya mengantri telah kosong. Pembatas tersebut telah terbuka lebar. Hati saya lega. Namun ternyata ini hanya sementara. Karena tak lama kemudian setelah kami masuk lebih ke dalam lagi kami melihat gelombang antrian jamaah yang sedang duduk berkelompok-kelompok. Rupanya demikianlah para askar mengatur jamaah. Jamaah di kelompokkan berdasarkan asal negara masing-masing.
Namun segera teman Indonesia saya mengingatkan : “ G usah ikut kelompok Indonesia mbak .. Lamaaa .. “. Saya masih terkesima, ketika dengan bergandengan tangan, kedua teman Indonesia saya tadi tiba-tiba sudah berlari menerobos antrian. Selanjutnya saya berusaha mencegah ibu mertua teman saya agar tidak menyusul kedua teman tadi. Untuk beberapa saat kami ber- 4 celingukan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara para askar terus mengingatkan untuk tetap sabar menanti di barisan masing-masing hingga ada aba2 dari mereka. Itu tebakan saya karena saya sama sekali tidak memahami ucapan mereka kecuali beberapa ucapan : “ Dudhuk .. dudhuk “ kepada jamaah berwajah Indonesia.
Saya ragu harus masuk barisan mana. Sementara kami melihat sejumlah jamaah yang berlarian menerobos di sana sini. Melihat ini si bule menantu langsung protes. “ Gimana kita harus mengantri sementara orang-orang menyerobot seperti teman kamu tadi ?”. Untuk orang-orang dimana antri sudah menjadi budaya hal ini memang terlihat aneh.
Belum habis rasa malu dihati ini, tahu2 teman saya tadi sudah menarik ibu mertuanya lari menerobos barisan. Saya hanya bisa bengong. Pasrah mendengar sungutan teman saya yang tinggal satu dan terus membujuk saya agar mengikuti jejak yang lain.
Saat itulah akhirmya saya memutuskan untuk duduk dibarisan jamaah Aljazair yang kebetulan ada di sisi kami. Untuk mengalihkan perhatian teman yang mengeluh terus, saya mengobrol dengan seorang jaamah Aljazair yang kebetulan bisa berbahasa Perancis. Dalam obrolan tersebut saya mendapat info bahwa di Aljazair banyak orang Indonesia. Sebagian besar adalah mahasiswa yang menuntut ilmu di kota2 terkenal yang pada zaman keemasan Islam dahulu pernah menjadi pusat ilmu dan pengetahuan. Senang dan bangga rasanya hati ini. Allahuakbar ..
Waktu terus berlalu tanpa ada tanda-tanda kapan kelompok ini bisa masuk ke Raudhah. Saya perhatikan hampir setiap jamaah berusaha mencuri kesempatan untuk lari meninggalkan barisan. Sementara para askar juga makin terlihat kesal dan gemas melihat situasi yang tidak nyaman ini. Teman saya kembali mencolek saya agar segera bergerak.
Akhirnya bobol juga kesabaran saya. Begitu melihat ada kesempatan saya langsung menarik teman saya itu untuk lari meninggalkan tempat dan ikut berdesakan dengan kelompok yang baru saja diberi kesempatan untuk masuk Raudhah.
Maka mulailah perjuangan yang sebenarnya. Kami larut di dalam lautan manusia yang berdesakan, terombang-ambing ke kiri kanan layaknya penonton pertunjukan musik rock di tanah air. Terdengar umpatan di sana-sini :” Hey, memang kamu orang Turki? Ini kan rombongan Turki ». Ntah kepada siapa umpatan tersebut ditujukan, saya tidak yakin kepada kami. Karena umpatan tersebut terdengar agak jauh. Kalaupun iya, ya sudahlah .. pikir saya menenangkan diri. … 😦
Akhirnya kamipun memasuki area Raudhah. Raudah atau taman surga terletak antara makam Rasulullah dan mimbar dimana Rasulullah dahulu biasa memberikan tausiyah kepada para sahabat. Tempat ini dapat diamati dari warna karpetnya yang berbeda dengan karpet di bagian lain masjid yang didominasi karpet merah tua. Selain itu, Raudhah juga dapat dibedakan dari bagian lain karena adanya beberapa pilar marmer berwarna putih berukir yang berbeda dengan pilar-pilar lain yang banyak dijumpai di dalam masjid megah nan cantik ini.
http://orgawam.wordpress.com/2008/08/13/denah-masjid-nabawi/
Makam Rasulullah terdapat di kiri Raudah, berdampingan dengan jarak sekitar satu ukuran kepala dari makam khalifah Abu Bakar ra dan khalifah Umar bin Khatab ra. Makam Rasulullah terletak pada barisan paling depan. “ Assalammualayka yaayyuhannabi wa rahmatullahi wa barakatuh”, “ Salam sejahtera yaa nabi, semoga rahmat dan berkah Allah swt terlimpah padamu ya Rasul”. Begitulah para jamaah memberikan salamnya dengan penuh khidmat. Juga kepada ke dua sahabat yang selalu setia mentaati beliau, meski kami tidak bisa melihat makam tersebut bahkan dindingnya sekalipun. Semacam papan tipis berwarna putih dipasang menutupi area sakral tersebut. Demikian pula mimbar yang terletak sejajar dengan makam Rasulullah, kami, jamaah perempuan tidak bisa melihatnya. Sayang sekali … L
Sambil berdesakan para jamaah terdengar bershalawat “ Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ala ali Muhammad”, “Ya Allah, muliakan Rasul-Mu Muhammad saw dan keluarganya”. Ditengah kerumunan inilah para jamaah berusaha untuk shalat meski tidak bisa dengan posisi sempurna karena untuk rukuk dan sujudpun sangat sulit. Untuk itu kami harus bergantian saling menjaga bila tidak ingin terinjak ketika kita sujud. L …
Usai shalat dan memberikan salam, kami berdoa. Raudah adalah tempat yang mustajab untuk berdoa. Tak lama setelah itu kami keluar, tanpa ingin menunggu bentakan askar yang mengusir jamaah yang terlalu lama berada di dalam taman surga ini. Puas tidak puas, kami harus tahu diri, di luar sana sesama jamaah telah mengantri. Dalam hati saya berjanji akan kembali lagi, besok, insya Allah. Semoga Allah swt masih memberi kesempatan.
( Bersambung).
Wallahu’alam bish shawwab.
Paris, 22 Desember 2011.
Vien AM.