Ada 3 macam cara berhaji, yaitu haji Tamattu, haji Ifrad dan haji Qiran. Perbedaan utama antara ke 3 haji tersebut adalah : haji Tamattu didahului dengan Umrah, haji Ifrad tanpa Umrah dan Haji Qiran adalah haji dan umrah dilakukan secara bersamaan.
Cara haji yang kami pilih adalah haji Tamattu. Cara ini adalah cara yang paling banyak dipilih jamaah Indonesia karena selain lebih mudah pelaksanaannya jamaah juga tidak perlu membawa hewan sembelihan ( hadyu) ke Mekah. Kita cukup mengganti harga hewan tersebut ( kambing atau unta) untuk kemudian di sembelih di Mekkah pada waktunya nanti . Rupanya ini pula yang dianjurkan Meridianis, grup bimbingan haji dimana kami bergabung.
“Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, itu ada beberapa manfa`at, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”.(QS. Al-Hajj(22):33).
Karena kami datang dari Madinah maka Bir Ali (Zulhulaifah) yang terletak 12 km dari kota Madinah adalah miqatnya ( batas ihram). Di masjid ini kami memulai ihram. Buat jamaah perempuan mungkin tidak begitu masalah, karena bagi perempuan tidak ada pakaian khusus ihram. Sebaliknya bagi jamaah lelaki, mulai tempat ini mereka wajib ber-ihram, yaitu hanya diperkenankan mengenakkan 2 helai kain tanpa jahitan ( sunnahnya warna putih ) dan sandal yang tidak menutupi tumit.
Namun sebelum ber-ihram, disunnahkan bagi seluruh jamaah untuk memotong kuku, memotong sedikit rambut , mandi besar serta memakai wewangian, khususnya jamaah lelaki. Kami melakukan semua ini di hotel, sebelum meninggalkan Madinah.
Di masjid Bir Ali, setelah ber-ihram dan berniat dengan mengucap “ Labbaika Allahumma ‘umratan ”, kami mendirikan shalat sunnah 2 rakaat dengan membaca surat Al-Kafirun pada rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas pada rakaat kedua. Kemudian naik ke bus untuk berangkat langsung menuju Mekkah.
Selama perjalanan Madinah – Mekkah yang berjarak 485 km dan dalam keadaan normal ditempuh dalam waktu 4-5 jam, kalimat talbiyah tak henti-hetinya berkumandang. “Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaika La syarika laka labbaik. Innal hamda wa nikmata laka wal-mulka laa syarii kalak.” Yang artinya adalah : “Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu, demikian pula kekuasaan ini (milik-Mu), tiada sekutu bagi-Mu.”
Bahkan kemacetan panjang menjelang masuk kota suci Mekkah sehingga total perjalanan memakan waktu hampir 10 jam tidak mengurangi semangat jamaah mengucapkan talbiyah. Subhanallah .. Merinding bulu kuduk ini mengenang saat-saat indah tersebut. Bila pada awalnya semua jamaah serentak bertalbiyah dengan suara keras maka pada saat tertentu ketika mulut ini mulai merasa lelah dan rasa kantuk mulai menyerang, tanpa dikomando, para jamaahpun bergantian, sahut menyahut, mengucap kalimat sambutan panggilan-Nya. Meski sekali-sekali terdengar sayup-sayup.
Ini masih ditambah lagi dengan pemandangan sepanjang perjalanan, gunung-gunung batu hitam dan gurun pasir nan kering kerontang. Bayangan Rasulullah saw menaiki unta didampingi Abu Bakar ra yang hijrah dari Mekkah ke Madinah lebih 14 abad silam membuat hati ini makin bergetar syahdu.
Ya, kami adalah para tamu Allah yang datang memenuhi panggilan-Nya demi ketakwaan pada-Nya, insya Allah. Alangkah indahnya. Tiba-tiba saya teringat kata-kata yang lumayan sering diucapkan teman-teman ketika ditanyakan mengapa tidak segera pergi menunaikan haji padahal mereka mampu. “ Belum ada panggilan”, begitu jawabnya, klise.
“ … … mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(QS.Ali Imran(3):97).
“Barang siapa yang tidak mempunyai halangan lahiriah untuk menunaikan haji atau adanya larangan penguasa lalim,atau karena sakit yang tidak memperbolehkan melakukan perjalanan, lalu ia meninggal dunia,sedangkan ia tidak sempat menunaikan haji, maka ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani”. ( HR. ad-Darimi).
Ayat dan hadits di atas, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa kita semua, umat Islam, wajib mengerjakan haji, bila mampu. Panggilan ini telah ada bahkan sejak zaman nabi Ibrahim as. Haji memang adalah ritual peninggalan nabi yang sering dijuluki sebagai bapak para nabi ini.
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud“. (QS.Al-Baqarah(2):125).
Embel-embel kata ‘ sanggup’ pun rasanya juga sudah sangat jelas, sanggup atau mampu mengadakan perjalanan haji, artinya memiliki bekal untuk biaya pulang-pergi ke Mekah plus biaya hidup selama berada ditanah suci, tanpa menzalimi keluarga inti yang ditinggalkan ditanah air.
« Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. (QS. Al-Hajj(22):27).
Sekitar pukul 10 malam, bus memasuki Mekkah. Dari kejauhan terlihat secara mencolok sebuah menara tinggi bertuliskan “ ALLAH” dalam huruf hijaiyah tentu saja. Ternyata itu adalah menara hotel Royal Mecca Tower Clock yang terkenal itu. Saat ini menara tersebut tercatat sebagai menara tertinggi ke dua di dunia. Sedangkan jamnya merupakan jam terbesar di dunia, 16 x lebih besar dan jauh lebih tinggi dari jam Big Ben di London.
Meski demikian, ntah mengapa, ada rasa khawatir di dada ini menyaksikan menara megah yang mampu menerangi langit sekitarnya melalui kilauan sinar terang hijau putih berpendar-pendar ini bakal memalingkan hamba-hamba-Nya dari kebesaran dan daya tarik Ka’bah, rumah-Nya yang suci. Terus terang, sinar mata penuh kekaguman yang terpancar dari teman-teman sesama jamaah cukup mengganggu hati ini. Namun syukurlah, ternyata kekhawatiran yang agak berlebihan tersebut, di kemudian hari, tidak terbukti. Allahu Akbar …
Menjelang pukul 11 malam akhirnya kami tiba di pondokan di Aziziyah, sekitar 3-4 km dari Masjidil Haram di Mekkah. Bukan jarak yang dekat. Namun begitulah kondisinya. Pihak bimbingan beralasan bahwa untuk mendapatkan hotel di dekat Masjidil Haram pada hari-hari menjelang Wukuf teramat sangat mahal. Nanti, setelah puncak haji selesai yaitu 4 hari setelah wukuf, kami akan tinggal di hotel persis di depan Masjidil Haram, begitu janji mereka. Insya Allah ..
Setelah makan malam dan istirahat beberapa waktu, pukul 3.00 pagi kami meninggalkan pondokan menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf. Hal penting yang ingin saya ingatkan, selama umrah belum selesai, kita tidak boleh mengenakkan wewangian ( hati-hati, berhubungan suami-istri haram lho) termasuk menggunakan sabun yang ada parfumnya. Kelihatannya sepele. Namun nyatanya, tidak. Usai makan, masuk kamar, masuk toilet dan otomatis mencuci tangan, dengan sabun yang disediakan pondokan, yang ternyata berparfum ! Astaghfirullah … 😦 …
Segera kami menghubungi uztad. Alhamdulillah, menurut uztad, karena tidak sengaja, tidak ada sangsi yang dikenakan. Bila secara sengaja, sangsinya adalah membayar sejumlah denda ( dam). Ya Allah, kepada-Mu kami bertobat, sungguh Engkau adalah zat yang benar-benar Maha Pemaaf dan Pemberi taubat.
Setiba di pelataran di depan pintu 1, pintu King Abdul Azis yang terletak tepat di depan pelataran luas area perhotelan dan mal-mal mewah, pembimbing kami mengadakan pengarahan singkat. Kami akan tawaf bersama, tidak berjalan terburu-buru dan tidak terpisah-pisah. Namun bila terjadi sesuatu yang mengakibatkan jamaah terpaksa terpisah, tidak usah panik. Jamaah boleh langsung mengerjakan sai boleh juga kembali ke pelataran tempat kami berkumpul saat ini. Seorang petugas dari bimbingan menunggu dan siap membantu.
Memasuki Masjidil Haram dan tawaf sekitar pukul 3.00 pagi, di musim haji pula, jangan harap lenggang. Bayangkan, sekitar 4 juta orang berkumpul dari seluruh dunia ! Subhanallah .. Thawaf yaitu mengelilingi Ka’bah dengan arah berlawanan arah jarum jam 7 x, dimulai dari sudut Hajar Aswad, adalah lambang perputaran 7 hari dalam seminggu yang harus diikuti semua manusia, tanpa kecuali.
(baca:https://vienmuhadi.com/2009/01/26/haji-sebuah-penyempurnaan-rasa-syukur-manusia-terhadap-nikmat-nya/ )
Dulu, pada zaman rasulullah, area tawaf hanya di dekat Ka’bah. Namun saat ini, dengan makin bertambahnya jumlah umat Islam dan kesadaran bahwa haji adalah kewajiban, area tawaf semakin luas saja. Tidak saja di lantai 1 dimana Ka’bah berdiri tetapi juga di lantai 2 dan 3 masjid raksasa ini umat Islam dapat mengerjakan tawaf, baik itu tawaf haji, tawaf umrah maupun tawaf sunah. Tawaf juga adalah pengganti shalat tahiyatul masjid bagi jamaah masjid berkapasitas 730 ribu ini.
Memasuki putaran ke 4, saya merasa ingin buang air kecil. Padahal toilet sangat jauh letaknya dari Ka’bah. Demi mempersingkat waktu, akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan tawaf tidak bersama rombongan, tentu saja setelah meminta izin kepada pembimbing.
Mengerjakan tawaf tanpa rombongan memang lebih cepat. Kami bebas untuk memilih tawaf mendekati atau menjauhi Ka’bah. Tawaf jauh dari Ka’bah memang lebih tidak berdesakan namun memakan waktu lebih lama. Disamping itu kita tidak mempunyai kesempatan untuk mengusap dinding Ka’bah. Meski ini tidak disunahkan kecuali mencium Hajar Aswad dan mengusap dinding Yamani. Hal yang tak mungkin dilakukan bila kita tawaf jauh dari Ka’bah.
Mencium Hajar Aswad, apalagi pada musim haji, memang benar-benar sulit. Sebagai gantinya disunahkan untuk mengangkat tangan kanan sambil bertakbir “ Bismillahi Allahuakbar “ dari kejauhan ketika melewati sudut ini. Namun demikian kita akan saksikan betapa dari waktu ke waktu jamaah tetap saja berdesakan, bersikut-sikutan demi dapat mencium batu hitam yang dibawa malaikat Jibril as dari surga ini. Banyak yang mengira bahwa mencium Hajar Aswad akan mendatangkan berkah.
Umar bin Khathab RA berkata, “Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw menciummu, maka aku tidak akan menciummu.”.
Tidak ada bacaan khusus dalam tawaf. Kecuali ketika kita melewati dinding antara rukun Yamani dan rukun Hajar Aswad kita disunnahkan untuk membaca bacaan : “ Robbana ‘atina fiddunnya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzab naar”. Yang artinya : Ya Tuhanku berikanlah aku kebaikan di dunia dan akhirat, dan jauhkanlah aku dari api neraka
Menjelang putaran ke 7, sedikit demi sedikit kami menjauh dari Ka’bah. Tujuannya agar ketika selesai tawaf nanti, lewat sedikit dari rukun Hajar Aswad, bisa langsung keluar dari putaran yang sungguh padat ini. Kemudian di Multazam, yaitu sudut antara rukun Hajar Aswad dan pintu Ka’bah, kami berhenti sejenak untuk berdoa. Multazam adalah tempat paling mustajab untuk berdoa.
Usai berdoa kami bergeser sedikit menuju ke belakang makam Ibrahim. Di sini kita disunahkan untuk shalat sunnah 2 rakaat dengan membaca surat Al-Kafirun pada ayat pertama dan surat Al-Ikhlas pada rakaat ke dua. Bukan hal mudah untuk shalat di tempat dimana tawaf sedang ramai-ramainya berlangsung. Kami shalat bergantian agar ada yang menjaga ketika kita shalat terutama ketika dalam posisi sujud.
Setelah itu kami menuju zam-zam untuk minum air zam-zam dan berdoa memohon agar diberi kesehatan lahir bathin dan ilmu yang bermanfaat. Begitulah tuntunan Rasul. Langkah berikutnya adalah Sai. Namun saya ingin ke toilet. Maka ditemani suami, kami keluar dari area masjid menuju pelataran perhotelan, melalui pintu 1, pintu King Abdul Azis. Dulu orang sering menyebutnya dengan nama pelataran Hilton. Sekarang pelataran jam besar. Seingat saya, ini adalah jalan terdekat menuju toilet.
Namun setibanya diluar, saya agak bingung. Di depan sana ada 2 tulisan ‘Toilet’ agak berdekatan. Saya tidak tahu mana yang lebih dekat. Menyesal juga, tadi tidak menanyakannya kepada pembimbing. Akhirnya saya memilih yang sebelah kiri. Ternyata saya salah pilih. Ini adalah toilet dekat stasiun yang jauhnya bukan main. Kotor pula … 😦 Akibatnya hampir setengah jam kami kehilangan waktu.
Beruntung, sekembali dari toilet, berkat jubah biru, seragam pembagian dari bimbingan, petugas bimbingan mengenali kami. Darinya kami tahu, toilet yang satu lagi, yang sebelah kanan, jauh lebih dekat, lebih bagus dan lebih bersih. Yaah, semoga lain kali ingat.
Ia juga memberitahu bahwa rombongan sudah memulai sai, yaitu berjalan bolak balik 7 x, dimulai dari bukit Safa dan berhenti di bukit Marwa. Ritual ini adalah untung mengenang pengorbanan Siti Hajar, ibunda nabi Ismail as, putra nabi Ibrahim as, ketika berlari bolak balik 7 x dari bukit ke bukit dalam rangka mencari air untuk bayinya tercinta itu.
“ Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):158).
Namun demikian, jangan pernah membayangkan keadaan sai sekarang ini sama dengan zaman Siti Hajar ribuan tahun lalu. Tentu saja tidak. Meskipun tempatnya masih sama, yaitu bukit Safa dan bukit Marwa, namun kedua bukit tersebut sekarang ini ada di dalam salah satu bagian Masjidil Haram. Ruangan bertingkat 3 ini berlantai marmer, ber-AC dan ada tempat istirahat untuk minum air zam-zam.
Melakukan sai di lantai 2 atau 3 mungkin tidak begitu melelahkan, karena ketinggiannya sama. Tetapi bila kita melakukannya di lantai 1 akan terasa sedikit lebih melelahkan karena kedua bukitnya agak menanjak. Menurut saya pribadi, agar sai lebih berkesan, alangkah baiknya bila kita melakukannya sambil membayangkan bagaimana perasaan ibunda nabi Ismail as ini berlari bolak balik dengan rasa khawatir bahwa setiap saat putranya bisa meninggal karena kehausan atau di terkam binatang liar !
Tepat pada sai terakhir, azan Subuh terdengar berkumandang. Maka diantara padatnya gelombang jamaah yang mulai berdatangan memenuhi masjid kamipun berpisah untuk mencari tempat shalat masing-masing. Meski pada akhirnya, pada tempat-tempat tertentu, jamaah lelaki dan perempuan shalat bercampur. Fenomena ini tampaknya memang sangat sulit untuk dihindari, terutama pada saat-saat puncak haji.
Usai sai, maka tiba saatnya untuk memotong sedikit rambut. Setelah itu usai pulalah umrah haji. Tinggal menanti saatnya haji, wukuf di 9 Zulhijjah, yang akan diumumkan pemerintah Arab Saudi.
(Bersambung)
Paris, 30 Desember 2011.
Vien AM.