Jumat, 28/10/2011.
Sebelum meninggalkan rumah tak lupa kami mendirikan shalat safar (bepergian) 2 rakaat dengan membaca surat Al-Kafirun pada rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas pada rakaat kedua, setelah membaca surat Al-Fatihah, tentu saja. Ini bukan bagian dari ritual haji. Karena melaksanakan shalat safar sebelum bepergian memang dicontohkan Rasulullah saw.
Pesawat Royal Jordanian Air dengan no penerbangan RJ118 jurusan Madinahpun take off sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Pesawat reguler yang membawa 78 jamaah haji dari Paris, Perancis diantara sekian ratus penumpangnya ini melayang selama lebih kurang 5 jam, sebelum akhirnya mendarat dan transit di Airport Queen Alia, Amman – Jodania.
Ada hal kecil cukup menarik yang terjadi selama penerbangan tersebut. Ini diawali dengan posisi tempat duduk di pesawat dimana saya dan suami ternyata tidak mendapat seat sebaris. Ntah mengapa suami ketika itu koq tidak ‘ngeh’ akan hal ini. Kami baru sadar bahwa tempat duduk kami terpisah menjelang boarding.
Seketika, suami langsung berusaha mencari jalan keluar. Ternyata hal ini tidak hanya terjadi pada diri kami. Ada beberapa pasangan suami istri yang terpisah padahal mereka melakukan check in bersama dan bahkan sudah meminta agar duduk bersebelahan. Si petugas hanya menjawab silahkan diatur nanti ketika di dalam pesawat saja. Petugas disana yang akan membantu, begitu katanya .. L ..
Alhamdulillah, akhirnya masalah terselesaikan dengan baik. Ditambah pengertian seorang yang juga ternyata jamaah calon haji, saya dan suami berhasil duduk bersebelahan, bertiga dengan bapak tersebut. Nah, bapak yang duduk di sebelah suami inilah yang ingin saya ceritakan kisahnya. Tentu saja tanpa bermaksud untuk menggunjing.
Setelah berkenalan dan berbasa-basi sejenak, tanpa diminta ia menceritakan latar belakangnya mengapa ia pergi berhaji. Muhammad demikian ia memperkenalkan dirinya. Ia adalah warga negara Perancis berdarah Maroko. Sama seperti Aljazair dan Tunisia, Maroko adalah Negara bekas jajahan Perancis. Itu sebabnya di Perancis ini banyak sekali ditemui wajah-wajah Arab dan campuran Arab – Perancis. Mereka adalah adalah keturunan para imigran dari ketiga negara tersebut, yang kemudian menikah dengan warga asli Perancis, atau dengan sesama mereka sendiri.
Muhammad hijrah ke negri paman Sarkozy ketika usianya masih belia, dalam rangka menuntut ilmu. Di negri inilah ia kemudian jatuh cinta pada seorang perempuan asli Perancis hingga akhirnya mereka menikah. Sayangnya mereka mengambil keputusan penting ini tanpa mempertimbangkan perbedaan agama diantara mereka.
Akibatnya, Muhammadpun menjauh dari ajaran Islam, agama nenek moyangnya. Bahkan ia nekad berpindah mengikuti agama istrinya tercinta dan rela dibaptis. Antony adalah nama baptisnya. Tak aneh jadinya bila seterusnya ketiga putra-putrinyapun memeluk Nasrani, sesuai didikan sang ibu.
Bersyukur, Allah swt masih mengasihinya. Menjelang hari tuanya, yaitu pada usia 50 tahunan, Antony akhirnya menyadari kesalahannya. Ini semua berkat usaha keras ayahnya yang tak kenal jemu mengingatkan putranya itu untuk kembali ke jalan yang benar, meski hanya dari kejauhan.
Tiba-tiba saya teringat kepada kisah seorang ayah yang menasehati anaknya. Allah swt mengabadikan kisah tersebut dalam surat Lukman, nama sang ayah. Sebuah pelajaran bagi kita, bahwa mendidik anak bukan hanya tugas seorang ibu.
“(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.(QS.Lukman(31):16-17).
Sayangnya, sang istri tercinta tidak dapat menerima kenyataan ini. Percekcokanpun tak terhindarkan, hampir setiap hari, hingga akhirnya membuahkan perceraian. Sebuah akhir pernikahan yang tidak menyenangkan, memang. Namun Antony yang di kemudian hari mengganti namanya menjadi Muhammad, ternyata kini justru lebih tenang hidupnya. Tampak bahwa Allah swt masih ridho menerima taubatnya.
Gurat penyesalan yang dalam masih terbayang di wajah Muhammad, ketika ia menceritakan perjalanan hidupnya. Namun dengan cepat air mukanya berubah menjadi sejuk dan tenang ketika ia mengungkapkan betapa besar rasa terima-kasihnya kepada sang ayah tercinta yang tak kenal lelah mengingatkannya.
Kini Muhammad yang telah berusia 60 tahun dan harus ditopang tongkat ketika berjalan itu telah menikah kembali. Bahkan istrinya, seorang perempuan sholehah keturunan Maroko, dengan izin Allah swt telah mengganti ke 3 anak Muhammad yang ‘hilang’ dengan 2 putra putri yang insya Allah bakal menjadi penghibur dunia akhirat bagi ke 2 orang-tuanya. Subhanalah ..
Pelajaran berharga bagi kita, agar tidak menyekolahkan anak ke negri-negri kafir tanpa bekal keimanan yang kuat dan pengawasan yang ketat.
Tak terasa, 5 jampun berlalu. Perbedaan waktu antara Paris-Amman adalah 1 jam. Kami mendarat di airport Queen Alia, Amman pada pukul 19.00 waktu setempat, untuk transit selama 10 jam ! Padahal jarak Amman – Madinah tinggal 2 jam penerbangan. Beruntung, pihak Jordan Air memberikan fasilitas hotel bagi jamaah agar dapat sedikit beristirahat dengan baik.
Yaah, begitulah resiko menjadi penumpang pesawat bukan khusus haji. Ini hanya salah satu kesulitan agen bimbingan haji Perancis. Padahal agen bimbingan haji kami ini menangani 300an jamaah. Mereka terpaksa diterbangkan dalam 4 penerbangan yang berbeda.
Sekitar pukul 21.00 kami memasuki hotel. Setelah makan malam yang disediakan pihak hotel kami segera masuk kamar dan berusaha untuk istirahat. Pukul 3.30 pagi kami harus sudah siap berangkat ke bandara untuk meneruskan perjalanan ke tujuan yang sebenarnya, Madinah.
Sabtu, 29/10/2011. Alhamdulillah pesawat berangkat meski tidak tepat waktu. Shalat Subuh kami laksanakan di mushola airport. Sayangnya, ruang shalat bagian perempuan yang sudah sempit ini masih dijejali lagi dengan penumpang yang numpang tidur di tempat tersebut. Yang tetap tidak mau bergeming untuk bangun meski tahu para tamu mengantri untuk shalat bahkan beberapa terpaksa sujud di atas bagian tubuhnya.
Sekitar pukul 8.30 pagi pesawat mendarat di Madinah Airport dengan selamat, Alhamdulillah. Airport ini jauh berbeda dengan Airport Jedah, baik keadaan fisik maupun pelayanannya. Di Jedah, urusan imigrasi bisa makan waktu 10 jam-an ! Ini yang kami alami 11 tahun lalu. Dan ini sudah diingatkan para pembimbing kami. Tampaknya ini hal biasa atau memang ‘ dibiasakan”?? Di depan mata para calon jamaah kami melihat para petugas imigrasi mengobrol, jalan kesana kemari … Dan ketika melihat ada orang yang berusaha ‘mendesaknya’ agar bekerja lebih cepat, mereka langsung berteriak-teriak, membentak-bentak semua orang yang mengantri panjang, pasraaah …
“ Sabaar, sabaar, sabaar”, hanya itu kata yang diucapkan para pembimbing, menenangkan para jamaah. Dan para jamaahpun hanya diam, sadar sepenuhnya bahwa ini adalah bagian dari uji kesabaran dalam berhaji dan berumrah. Ironisnya, ternyata ini masih dialami oleh adik dan ipar saya yang kebetulan juga pergi menunaikan haji tahun ini. Mereka datang ke tanah suci melalui bandara Jeddah dan harus menunggu 10 jam di tempat tersebut. Saya hanya bisa mengusap dada, “ Benarkah ini bagian dari sabar berhaji?”, tanya saya dalam hati, tidak yakin.
Di airport Madinah, pemeriksaan imigrasi berjalan lancar dan relative cepat. Di pintu keluar menuju deretan bus yang telah menanti, sejumlah petugas membagi-bagikan 1 set buku panduan haji. Hebatnya, buku-buku tersebut tidak hanya dalam bahasa Arab, tetapi berbagai bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman dll, termasuk bahasa Indonesia. Dan semua itu tanpa dipungut biaya alias gratis. Dari salah satu buku inilah saya membaca tentang “ beberapa kesalahan dalam berhaji”. Dan yang paling menarik adalah kesalahan miqat dari airport Jedah, hal yang sering dilakukan jamaah Indonesia ! Terutama kloter-kloter yang langsung menuju Mekah. Berikut apa yang saya temukan, sesuai dengan buku petunjuk yang dibagikan di bandara Madinah.
http://qurandansunnah.wordpress.com/2010/03/23/bantahan-bagi-yang-menjadikan-jeddah-sebagai-miqat/
Selanjutnya dengan 2 bus berkapasitas 40 orang kami menuju hotel. Tidak kurang 2 kali kami berhenti untuk menerima pembagian air zamzam dan makanan kecil, semua cuma-cuma. Ini adalah bagian dari cara pemerintah Arab saudi menyambut tamu Allah swt di tanah suci ini. Allahuakbar …
Pukul 11 lebih kami tiba di hotel. Alhamdulillah, hotel hanya berjarak beberapa meter dari Masjid Nabawi. Kami segera turun dari bus untuk melihat-lihat sekeliling hotel. Ternyata selain dekat dengan masjid Nabawi hotel juga dekat dengan restoran Indonesia ! Wah, beruntung benar kami .. Saya langsung promosi kepada teman-teman tentang masakan Indonesia. 🙂
Selesai urusan hotel ; cek-in, pembagian kunci kamar, mengurus bagasi serta pengumuman-pengumuman penting dari pembimbing, tak terasa waktupun cepat berlalu. Azan zuhur berkumandang kencang. Kami segera bergegas menuju masjid.
Rasanya baru 3 tahun lalu kami mengunjungi masjid ini untuk umrah, ternyata sudah ada perubahan. Di siang hari yang terik tersebut, pelataran masjid yang luas terasa jauh lebih sejuk dibanding dulu. Payung-payung raksasa cantik, berwarna biru muda terlihat meneduhi pelataran. Sejumlah kran air berputar menyemprotkan air ke udara, menambahkan kesejukan. Ini masih dimanjakan lagi dengan karpet-karpet tebal indah berwarna merah tua, menambah jamaah makin nyaman dalam mendirikan shalat.
Pintu masuk masjid yang jumlahnya 86 dan diberi no urut ini, dipisahkan pintu-pintunya bagi jamaah lelaki dan perempuan. Setelah menentukan tempat untuk bertemu kembali dengan suami nanti usai shalat, kamipun berpisah. Saya segera menuju pintu terdekat dan berusaha memasukinya.
Sejumlah askar perempuan, sebutan petugas keamanan masjid, menghadang di mulut pintu. Dengan abaya hitam lengkap dengan cadarnya, mereka memeriksa tas para jamaah. Kamera, handycam dan Hp terutama yang ada kameranya, seperti BB dan lain-lain kalau ketahuan dilarang dibawa masuk. Boleh dititipkan ke bagian penitipan atau dipersilahkan shalat di pelataran.
Lolos dari pemeriksaan, sekarang giliran mencari tempat kosong. Sungguh, perjuangan berat. Saya harus berjalan melewati shaft demi shaft, meloncati kaki orang .. Mau berbalik keluar lagi juga tidak mungkin karena di belakang sudah ada antrian panjang seperti ular. Sejauh mata memandang rasanya padat sudah isi masjid ini. Subhanallah ..
Hingga iqamat dikumandangankan beberapa menit kemudian, saya masih dalam keadaan seperti itu. Maka begitu saya melihat ada kesempatan keluar saya segera memutuskan untuk keluar dan akhirnya shalat di pelataran. Ada keraguan dalam hati ini, samakah antara shalat di dalam masjid yang berpahala 1000 x shalat di masjid lain ini dengan shalat di pelatarannya?
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda “Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lainnya selain Masjidil-Haram.” (HR Bukhari).
Wallau’alam bish shawwab.
( Bersambung).
Paris, 12 Desember 2011.
Vien AM.