« Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? » (QS.Ar-Rahman(55):28-30).
Dimulai dari Muzdalifah, lautan pasir dengan sajadah sebagai alas dan langit sebagai atapnya lalu Mina, bumi perkemahan dengan matras lipat sebagai alas dan tenda sebagai atapnya, kemudian pondokan Aziziyah, pondokan sederhana 5 km dari Mekkah dan terakhir Royal Mecca Tower Clock Hotel, hotel mewah bintang 5 yang terletak di pekarangan Masjidil Haram. Subhanallah … Alangkah nikmatnya ! Ini baru contoh kecil yang terjadi selama 18 hari perjalanan haji kami. Belum lagi segala nikmat yang telah diberikan Sang Khalik selama setengah abad lebih umur ini … Masya Allah …
« Eits, hati-hati … jangan sampai kemewahan ini membuat kita lalai. Paling tidak, 1 jam sebelum azan sebaiknya kita sudah siap menuju Masjidil Haram”, begitu Raga mengingatkan.
“ Iya nih, bahaya .. Ini bukan saat yang tepat untuk berleha-leha”, sambung suami saya sambil memandang sekeliling kamar hotel yang betul-betul mewah ini.
Sementara di bawah sana terlihat kompleks Masjidil Haram dengan Ka’bahnya yang tak pernah sepi dari jamaah yang thawaf mengelilinginya. Bahkan bukit-bukit batu cadas gagah perkasa yang seakan senantiasa siap melindungi kota suci ini dari segala kejahatan terlihat jelas dari kamar hotel kami. Begitupun Jabal Nur, bukit dengan bentuknya yang khas dimana terdapat gua yang sering dikunjungi Rasulullah, terlihat di ujung kanan kamar kami. Di gua inilah Rasulullah menerima perintah pertama Sang Khalik melalui malaikat Jibril as.
Subhanallah, bersujud saya di depan jendela besar yang terlihat kotor sekali karena memang pasti sulit dibersihkan. Merinding hati ini menyaksikan bait Allah dari ketinggian hotel. Secara fisik, dibanding puluhan hotel dan bangunan yang mengelilinginya, ‘rumah’ berbentuk kubus ini memang tidak ada artinya.
Namun justru inilah keistimewaannya. Ka’bah bukanlah bait (rumah) Allah dalam arti sesungguhnya. Ka’bah adalah rumah, lambang keberadaan-Nya dimana seluruh umat Islam harus menujukan arah dan pandangan, terutama ketika shalat. Ka’bah adalah lambang pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Sang Khalik sendiri sebenarnya bersemayam di singgasana-Nya yang agung, yaitu Al-Arsy.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? “ (QS.Yunus(10):3
“ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”.(QS.Thaaha(20):5-6).
“ (Malaikat-malaikat) yang memikul `Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala”,(QS.Al-Ghofir(40):7).
Demikianlah, sebagaimana penduduk bumi, para malaikatpun ber-thawaf. Bahkan mereka ini thawaf jauh sebelum manusia diciptakan. Sejumlah hadist meriwayatkan bahwa setiap hari, 70 ribu malaikat berthawaf mengelilingi Baitul Makmur. Baitul Makmur ini terletak di bawah Arsy, di langit ke 7, tepat di atas Ka’bah.
Rasulullah bersabda ” Baitul Makmur adalah masjid yang berada di langit dan ia betul-betul diatas Ka’bah. Seandainya ia jatuh maka ia akan menghempaskan Ka’bah”.
“ Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling `Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.(QS.Az-Zumar(39):75).
Itu sebabnya, ketika thawaf, saya suka sekali memandang langit dimana Ka’bah dinaungi. Sungguh, betapa besar nikmat dan kehornatan yang diberikan Sang Khalik kepada kaum Muslimin, khususnya para jamaah haji dan umrah yang mau memahaminya. Allahuakbar !
Selama 6 hari 5 malam kami berada di Mekkah, kota suci yang dalam Al-Quran juga dinamakan Bakkah atau juga Ummul Qura’ ( ibu negri). Banyak sekali hikmah yang kami dapat selama itu. Berbaur dengan sekitar 3 juta saudara-saudari seiman yang datang dari segenap penjuru dunia, dengan tujuan yang sama yaitu demi memenuhi panggilan Sang Khalik, Allah Azza wa Jalla, benar-benar merupakan kesempatan yang amat langka.
“ Selamat menjalankan ibadah. Semoga Allah mempertemukan kita lagi, di surga nanti”, demikian yang dikatakan seorang jamaah dari Aljazair, sambil memeluk saya, usai shalat di Masjidil Haram.
“ Kalian sungguh beruntung. Meski kalian tidak mengerti bahasa Arab kalian tetap mengimani Al-Quran yang diturunkan kepada seorang nabi yang juga bukan berasal dari bangsa kalian”, puji seorang jamaah dari Syria mengomentari keterangan saya bahwa sebagian besar Muslim Indonesia dapat membaca Al-Quran meski tidak bisa berbahasa Arab.
“ Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku, lalu berbahagialah ( Rasul mengulang 3 kali) orang yang tidak melihatku tetapi beriman kepadaku”. (HR. Ahmad dari Abi Sa’id al Khudri).
Belum lagi berbagai cerita saudari-saudari kita yang datang dari belahan bumi lain. Seperti seorang jamaah asal Pakistan dari Amerika Serikat yang menceritakan betapa setiap Jumat seminggu sekali ada saja orang yang bersyahadat di masjid dekat dimana ia tinggal.
Ada juga beberapa pengalaman mengenai jamaah yang tidak begitu memahami cara shalat. Diantaranya, datang terlambat dan ketinggalan shalat namun tidak menambah kekurangan rakaatnya. Maka berbekal “ Sampaikan walau satu ayat” saya beranikan diri untuk memberitahukan kekurangan tersebut meski ternyata ia tidak memahami apa yang saya katakan.
Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membuka komunikasi demi mengais ridho’Nya. Dengan berbagi sajadah misalnya. Suatu hari saya membeli sajadah sulaman buatan India yang sangat cantik. Sengaja saya memilih sajadah berukuran kecil karena berdasarkan pengalaman, terutama di tanah air, sering orang shalat berjamaah di atas sajadah masing-masing yang lebarnya rata-rata 60 cm, tanpa merapatkan barisan. Hal yang sama sekali tidak dianjurkan. Karena tempat yang renggang tersebut akan digunakan syaitan untuk mengganggu shalat kita.
Pada saat pertama akan menggunakan sajadah yang lama saya idamkan itu, ada rasa ragu untuk berbagi. Padahal jamaah di sebelah saya tidak membawa sajadah. Alhamdulillah dengan pertolongan bisikan Allah akhirnya saya membagi sajadah tersebut kepada ‘tetangga’ dengan posisi sajadah bagian kepala untuknya. Di akhir shalat, perbuatan yang tidak seberapa itu ternyata mampu membuahkan kebahagiaan tersendiri. Dengan tulus sambil tersenyum ‘tetangga’ tersebut mengucapkan terima-kasih, dalam bahasa yang tidak saya pahami tapi saya yakin maksudnya.
Atau dengan berbagi ‘kapling’. Shalat di bagian dalam Masjidil Haram pada musim haji, bukanlah hal yang mudah terutama bagi kaum perempuan. Betul-betul perlu tekad, keberanian dan kesabaran extra. Ini dikarenakan saking padatnya jamaah. Kita harus rela berdesak-desakan, menyelinap di antara jamaaah pada shaf-shaf yang super padat, bahkan tidak jarang terpaksa melompati kaki jamaah. Tetapi terus terang saya tidak mau melompati orang yang sedang shalat atau menekan kepala jamaah, hal yang sering dilakukan jamaah non Asia.
Belum lagi bila kemudian diusir askar, penjaga Masjidil Haram, karena dianggap mengganggu jalanan atau bercampur dengan jamaah lelaki. Terpaksa kita harus keluar dan berjuang lagi mencari tempat shalat. Kalau ingin aman, shalat di lantai 3 yaitu di pelataran masjid memang lebih dijamin banyak tempat kosong, Namun untuk tembus menuju ke pintunyapun tetap perlu perjuangan keras, apalagi bila sudah dekat waktu shalat.
Bahkan pernah pada suatu hari Jum’at satu-satunya kami di Masjidil Haram, kami tidak bisa keluar dari mall dimana hotel kami berada. Pintu sengaja ditutup dan dijaga para askar demi mencegah jamaah dari pelataran masjid masuk ke mall untuk shalat Jumat. Rupanya bahkan pelataran masjidpun sudah tidak mampu menampung jamaah yang membludak. Padahal ketika itu masih 1 jam dari azan. Terpaksa kami shalat di dalam mall…. L
Ironisnya, ternyata banyak jamaah yang kelihatannya memang berniat shalat di pelataran bahkan di dalam mall. Ini terbukti jelas karena jauh sebelum azan mereka sudah memadati pelataran dan lantai mall padahal area di depan Masjidil Haram masih kosong. Malah saya dengar ada saja jamaah yang memilih shalat di dalam kamar hotel dengan alasan Ka’bah kan terlihat dari tempatnya shalat !.
( Bersambung)
Jakarta, 1 Februari 2012.
Vien AM.
Leave a Reply