“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS.Al-Hasry(59):18).
Ayat diatas adalah ayat yang isinya perintah agar kita mau ‘introspeksi’, muhasabah alias menghisab diri atas apa yang telah kita perbuat selama hidup di dunia ini. Ini adalah hal yang sangat penting. Karena tanpanya kita bisa terlena dan lupa akan hakikat hidup yang sebenarnya. Apalagi dengan keadaan dunia saat ini yang begitu materialistis, hedonis dimana kepuasan, kesenangan dan keberhasilan hidup hanya diukur dari kaca mata materialistis. Sebuah lingkungan yang sungguh berbahaya bagi perkembangan jiwa yang pada akhirnya akan berujung pada penyesalan.
Hidup pada zaman sekarang, bila tidak berhati-hati memilih kawan dan lingkungan, amat berpotensi ‘lupa diri’. Lupa bahwa kehidupan dunia hanya sementara. Lupa bahwa ada kehidupan setelah kematian, yaitu kehidupan akhirat..Lupa bahwa kita, semua manusia, adalah hanya hamba yang mendapat tugas maha berat, yaitu tugas ke-khalifahan, dari Yang Menciptakan kita. Lupa bahwa tugas tersebut harus dipertanggung-jawabkan kepada Sang Pemilik.
Padahal Allah swt menciptakan kita ini sebagai mahluk terbaik di dunia. Untuk itu kita diberi tugas agar menjadi khalifah bumi. Agar membangun peradaban dunia yang aman, tentram dan damai dengan landasan ketakwaan kepada Sang pencipta, Allah Azza wa Jalla. Yaitu dengan menjalankan hukum-hukum-Nya bukan malah menyembunyikannya. Bahkan wajib kita memperlihatkan nikmat dan kebesaran-Nya kepada semesta alam. Inilah puncak ketakwaan yang sebenarnya.
“Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”.(QS.Adh-Dhuha(93):11).
Ironisnya, tidak jarang pula kita lupa bahwa waktu kita sangat terbatas. Bahwa suatu waktu Sang Khalik dapat memanggil kita, tanpa adanya pemberitahuan. Karena semua yang pergi pasti akan kembali, yang terlahir ke dunia yang fana ini pasti bakal meninggalkannya kembali, menuju asal. Dari tanah kembali ke tanah.
”Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (QS.Al-Ghasiyah( 88): 25-26).
Bersamaan dengan berhentinya kehidupan kita di dunia makan dimulailah waktu perhitungan atau pertanggung-jawaban. Apa saja yang telah kita kerjakan selama di hidup di dunia, bagaimana kita menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati kita.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS.Al-Isra(17):36).
Ali bin Abu Thalib ra berkata, ”Dunia itu selalu bergerak menjauh dari kehidupan manusia sedangkan akhirat selalu bergerak mendekatinya. Masing-masing dari keduanya mempunyai budak yang setia kepadanya. Maka, jadilah kamu sekalian sebagai budak akhirat dan janganlah kamu sekalian menjadi budak dunia. Sesungguhnya di dunia inilah tempat beramal dan tidak ada penghisaban sedangkan di akhirat nanti adalah saat penghisaban dan bukan tempat beramal.”
”Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.” (HR Tirmidzi).
Untuk itulah, melalui ayat 18 surat Al-Hasry diatas Allah swt mengingatkan kita untuk menghisab diri kita sebelum datang penghisaban yang sebenarnya. Allah swt bahkan memberi kita kesempatan seluas-luasnya untuk bertaubat. Dengan catatan, kita bertaubat secara sungguh-sungguh atau taubat nasuha, bukan taubat-taubatan, taubat yang dilakukan secara bermain-main.
“Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya”.(QS.Al-Furqon(25):71).
Jadi taubat yang diterima oleh-Nya adalah taubat yang dilakukan karena rasa penyesalan yang dalam, yang kemudian diikuti dengan perbuatan yang dapat menebus atau memperbaiki kesalahan yang diperbuatnya, bila memungkinkan. Namun bila tidak mungkin, maka ia akan berbuat sebaik mungkin dengan harapan Sang Khalik mau memaafkan kesalahan tersebut. Yang terus menerus berdoa dengan harapan Allah Azza wa Jalla memaklumi kesalahan sekaligus mempunyai rasa cemas Ia tidak ridho memaafkan kesalahan tersebut.
Kesalahan bukan hanya kesalahan besar, seperti pembunuhan, perzinahan dsb. Karena shalatpun bisa juga salah, bila karena riya, alias pamer agar orang kagum. Jadi bukan karena mengharap ridho-Nya. Shalatnya yang hanya ritual, tidak memiliki ruh.
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yaitu orang-orang yang berbuat riya”. (QS.Al-Maaun(107) :4-6).
Kesalahan lain adalah kesyirikan dan kekafiran. Ini adalah dosa terbesar yang hampir tidak dapat diampuni bila tidak segera bertaubat. Harus diingat, Allah swt tidak akan menerima taubat yang dilakukan ketika nyawa telah di kerongkongan, seperti yang dilakukan Fir’aun beribu-ribu tahun yang silam.
« Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih ».(QS.An-Nisa(4) :18).
Yang juga harus menjadi catatan. Perhitungan tidak hanya atas apa yang kita lakukan terhadap-Nya. Namun juga perbuatan kita terhadap sesama manusia dan lingkungan sekitar kita. Malah tampaknya prilaku kita kepada sesama lebih sulit dipertanggung-jawabkan dari pada prilaku kepada Sang Ghofur. Karena sesuai dengan nama-Nya, Ia Maha Pemberi Maaf. Sementara manusia biasanya lebih ‘pelit’ memaafkan.
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah swt menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah swt melainkan diangkat oleh Allah swt.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim).
Orang yang paling penting kita perhatikan adalah kedua orang-tua kita. Jangan sampai kita menyakiti mereka apapun alasannya. Bahkan ketika mereka sulit diingatkan dalam ketakwaan, misalnya. Diperlukan cara yang santun dalam menghadapi mereka
Selanjutnya adalah tetangga, baik tetangga tersebut Muslim ataupun bukan. Karena bagaimanapun mereka tetap memiliki hak sebagai tetangga. Kita harus pandai menjaga lidah agar tidak menyakiti hati siapapun. Karena lidah itu bagaikan pedang yang sulit untuk diperbaiki ketika salah digunakan. Fitnah dan mengguncing adalah hal yang benar-benar harus dihindari.
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubah lagi Maha Penyayang,” (Al-Hujarat: 12).
“Apabila apa yang kamu katakan itu memang ada pada dirinya berarti engkau telah menggunjingnya dan apabila apa yang katakan itu tidak benar berarti kamu telah memfitnahnya,” (HR Muslim [2589]).
Dengan kata lain muhasabah diperlukan antara lain :
1. Untuk mengingatkan kembali kedudukan kita di dunia ini, yaitu sebagai hamba Allah sekaligus juga khalifah bumi. Oleh karenanya muhasabah bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi. Justru sebaliknya, yaitu meningkatkan amal kehidupan duniawi demi bekal kehidupan akhirat. Dunia adalah ladang akhirat. Jadi apapun ilmu yang kita tuntut atau pekerjaan yang kita jalani harus sesuai dengan keinginan-Nya.
Rasulullah pernah bersabda :” Siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup dunia, harus dengan ilmu, dan siapa yang menghendaki kebahagian akhirat harus dengan ilmu dan barang siapa yang menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat) juga harus dengan ilmu. (HR Tabrani).
2. Memperbaiki sekaligus meningkatkan amal ibadah kita. Dari yang tidak shalat menjadi shalat, dari yang shalat tidak 5 waktu menjadi 5 waktu dan di awal waktu, menambah shalat-shalat sunnah seperti shalat rawatib, witir, tahajud dll. Atau shalat berjamaah di masjid, terutama bagi lelaki ketika shalat Subuh dan Isya. Membaca Al-Quran dan mengkhatamkannya, dari khatam hanya dalam bulan Ramadhan, khatam 2 x setahun hingga khatam tiap bulan. Dari berpuasa hanya di bulan Ramadhan, hingga menambah dengan puasa-puasa sunnah seperti puasa senin-kamis dll.
3. Memperbaiki akhlak dan silaturahmi.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”;“Agama adalah akhlak yang baik”;“Seorang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling sempurna ahklaknya”;“Rasulullah ditanya:“Apa yang paling banyakmengantarkan manusia ke surga ?”. Rasulullah menjawab:“Akhlak yang baik”;“Apa yang paling banyak mengantarkan manusia ke neraka?”. Rasulullah menjawab: “Mulut dan kemaluan”. (HR Tarmidzi).
4. Mengingatkan umur yang terbatas.
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan”.(QS.Al-An’am(6):60).
Dengan demikian ketika kelak datang hari penghisaban yang sesungguhnya, Allah akan memudahkan segala urusan. Itulah orang-orang yang diberikan kitab catatan amalnya dari sebelah kanannya.
‘Adapun orang yang diberikan kitab (catatan) amalnya dari sebelah kanannya, maka ia akan dihisab dengan penghisaban yang mudah.” (QS.Al-Insyiqaq(84):7-8).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya ke mana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.” (HR. Turmudzi).
Namun harus diingat, sebesar apapun amal seseorang sesungguhnya tidak mungkin kita mampu membalas kasih sayang Sang Khalik. Sama halnya dengan mustahilnya seorang anak membalas kasih sayang ke dua orangtuanya. Karena hanya berkat rahmat-Nya jua seseorang bisa masuk surga.
( Click http://vienmuhadisbooks.com/2012/01/26/amal-seorang-hamba-dan-rahmat-allah-swt/ untuk membaca kisah seorang hamba yang beribadah terus menerus selama 500 tahun. )
“Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan)”.(QS.An-Nuur(24:10).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 13 Februari 2012.
Vien AM.
سُبْحَان الله