Manusia pada umumnya mencintai harta benda. Oleh karenanya menjadi kaya adalah idaman dan cita-cita kebanyakan orang. Demi mencapai tujuan inilah orang rela mengerjakan pekerjaan apapun, tidak peduli apakah pekerjaan itu halal atau tidak, menzalimi orang lain atau tidak. Ironisnya, bukan cerita yang jarang bila sang istri/pasangan tercinta tidak hanya tidak tahu namun malah mendukung perbuatan buruk tersebut.
Ya, harta kekayaan memang sangat berpotensi menutup mata hati seseorang. Padahal tidak berbukti bahwa kekayaan dan kebahagiaan itu berbanding lurus. Buktinya, berapa banyak kita mendengar cerita anak-anak ‘broken home’yang biasanya berasal dari keluarga kaya raya. Berapa sering kita mendengar skandal perselingkuhan dan perceraian yang biasanya menimpa keluarga berkecukupan.
“ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.(QS.Ali Imran(3):114).
Dari ayat diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa kecintaan terhadap harta benda memang telah menjadi fitrah manusia. Sejauh kecintaan tersebut tidak sampai membuat kita lalai terhadap kehidupan akhirat, hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Karena kehidupan dunia hanyalah sementara. Kehidupan yang jauh lebih kekal adalah kehidupan akhirat, yaitu surga atau neraka.
Oleh sebab itu, nikmat terbesar dalam hidup ini sesungguhnya adalah nikmat Iman dan Islam. Karena dengan bekal inilah seseorang akan mengetahui hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Dan kedua nikmat ini hanya dapat diperoleh dengan adanya mata hati yang bersih.
Melalui nikmat Iman, seseorang akan mempercayai adanya Sang Pencipta Yang Satu. Dengan nikmat Iman seseorang akan meyakini adanya yang ghaib, seperti para malaikat, surga dan neraka, hari pembalasan dll. Dan dengan nikmat Islam seseorang akan mampu menikmati manisnya shalat, zakat, puasa serta indahnya berbagi dengan sesama. Sebagai dampaknya, maka orang-orang seperti ini tidaklah akan terjebak dalam kenikmatan palsu, kenikmatan duniawi.
Tidak dapat dipungkiri kenikmatan dunia seperti harta benda dan kekayaan memang dibutuhkan dalam hidup ini. Karena kita memang hidup di alam dunia. Namun dengan adanya kesadaran bahwa ada kehidupan lain setelah kehidupan dunia, maka ia tidak akan terperangkap dalam kenikmatan tersebut. Ia akan berpikir kritis apa dan bagaimana resiko dan tanggung-jawab yang harus diembannya ketika ia menikmati kenikmatan tersebut.
Tingkat kenikmatan seseorang berbeda-beda. Orang yang mampu menikmati indahnya Iman dan Islam pasti juga mampu menikmati indahnya pemberian kelima indra dari-Nya, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Dengan bekal inilah kita dapat menikmati betapa indahnya ciptaan-Nya.
Sebaliknya, sekiranya mereka ini dicoba dengan kurangnya salah satu dari ke 5 indra tersebut, mereka tetap mensyukurinya. Begitu pula bila mereka dicoba dengan kurangnya rezeki dll.
”Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya maka dia berkata,”Tuhanku telah memuliakanku”. Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata,”Tuhanku telah menghinaku”. Sekali-kali tidak! .. (QS.Al-Fajr(89):15-17)
Adalah salah besar orang yang beranggapan bahwa kekayaan dan kesempurnaan tubuh adalah suatu kemuliaan. Sementara kemiskinan dan kekurang sempurnaan tubuh adalah suatu kehinaan. Karena sesungguhnya baik kekayaan, kemiskinan maupun kekurangan, semua adalah ujian dan cobaan Allah Azza wa Jalla bagi hamba-hamba-Nya. Ini untuk mengetahui siapa sebenarnya yang tetap dalam ketakwaan, siapa yang tetap sabar dan bersyukur dalam menghadapi dan menyikapi kelebihan dan kekurangan tersebut .
“ Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):45-46).
Yang juga perlu dicatat, syukur tidak hanya cukup dikatakan secara lisan. Syukur yang dikehendaki-Nya adalah syukur yang diucapkan lewat lisan, dengan niat yang tulus di hati serta di wujudkan dalam sikap. Shalat 5 waktu, zakat, sodakoh dan infak, membaca Al-Quran dan berusaha memahaminya adalah salah satu contohnya. Mari kita saling mengingatkan untuk memotivasi diri agar selalu ada peningkatan kwalitas dalam ibadah/syukur.
Wallahu’alam bish shawwab.
Paris, 29 April 2012.
Vien AM.
Leave a Reply