Pesawat Air Turkish yang kami tumpangi mengudara on schedule, tinggal landas dari bandara Charles de Gaule Paris menuju Istanbul, Turki. Tujuan akhir kami adalah Jakarta, untuk berkumpul dengan keluarga besar di hari Lebaran. Sengaja kami memilih penerbangan milik Turki dengan transit sekitar 20 jam agar dapat mengunjungi BlueMosque sekaligus merasakan buka puasa di bekas ibu kota kekhalifahan Ottoman itu. Ketika itu memang bulan Ramadhan.
Sebenarnya kami pernah mengunjungi Istanbul beberapa tahun lalu. Tapi kurang begitu puas karena kami datang pada waktu yang kurang tepat, yaitu bulan Desember. Baru ketika itu kami menyadari bahwa Istanbul ternyata sama dengan kota-kota Eropa lainnya, dingin plus salju turun di bulan tersebut, meski tidak terlalu tebal. Mungkin karena hujan hampir setiap hari turun. Namun tetap saja cukup mengganggu dan mengurangi keleluasaan kami menikmati keindahan kota legendaris tersebut. Itu sebabnya pada penerbangan mudik kali ini kami memilih Air Turkish dengan tujuan utama bisa memuaskan keinginan mengunjungi lagi masjid biru yang terkenal itu.
Singkat cerita, beberapa waktu setelah pesawat mengudara, kereta dorong berisi makananpun datang, menawarkan hidangan makan siang. Pria berusia 35 tahunan yang duduk di sisi jalan deretan kursi kami segera menentukan pilihan makanan yang ditawarkan pramugari berambut pirang dengan wajah khas Turkinya.
Sementara kami berdua dengan halus mengatakan bahwa kami tidak makan karena sedang berpuasa. Mendengar itu, sontak pria berkulit hitam itupun segera menoleh dan menunjukkan rasa jengahnya.
“ Je suis Musulman. Je ne jeune pas car je dois prendre le vol jusqu’a … », ia menyebut nama sebuah kota yang rasanya kami tidak pernah mendengarnya. Intinya, ia adalah seorang Muslim. Namun ia tidak berpuasa karena ia masih harus melakukan perjalanan panjang ke sebuah kota.
Itulah awal percakapan dan perkenalan kami dengan seorang Muslim, imigran Perancis asal Pantai Gading. Pantai Gading atau Cote d’Yvoire adalah sebuah negara di pantai Barat benua Afrika, bertetangga dengan Ghana di sisi utara dan barat, laut Guinea di sisi selatan. Negara bekas jajahan Perancis ini awalnya hanyalah sebuah perkampungan terisolasi yang dihuni sekitar 60 suku bangsa.
Portugis dan Perancis yang menemukannya pada abad 15. Ketika itu kedua bangsa besar ini sedang berseteru mencari gading dan budak untuk dibawa ke Negara mereka. Namun akhirnya Perancislah yang berhasil menaklukkan perkampungan tersebut dan memberinya nama Cote d’Yvoire yang artinya pantai gading. Negara ini baru memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1960, atas pemberian Negara penjajahnya itu. Jadi tak aneh bila kemudian presiden yang diangkatpun adalah orang pilihan pemerintahan Perancis, seorang pemeluk Kristen. Ia berkuasa selama 30 tahun hingga tahun 1990.
Jujur, sebelum bertemu dengan pria tetangga di pesawat di bulan Ramadhan itu, saya tidak begitu mengenal sejarah Pantai Gading. Yang saya tahu hanya kerusuhan yang sering melanda negri tersebut. Saya baru tahu bahwa kerusuhan yang terjadi adalah kerusuhan antar umat agama dari pria tadi.
Ia menceritakan bahwa mayoritas penduduk negrinya adalah Muslim. Tapi tak pernah sekalipun seorang Muslim menduduki posisi tertinggi pemerintahan. Politik adalah tabu bagi Muslim Pantai Gading. Mereka lebih senang menjadi pedagang.
Namun ia sendiri adalah seorang mantan polisi. Kerusuhan yang terjadi antara tahun 1990 an hingga 2000 menyebabkan dirinya terpaksa meninggalkan tanah air yang dicintainya. Perancis sebagai Negara yang pernah berabad-abad menjajah negrinya merupakan pilihan sebagian besar rakyat yang mengungsi. Untuk diketahui, hingga kini pantai Gading masih menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa persatuan mereka.
Maka sejak itu pula pria yang belakangan menikah dengan perempuan sebangsanya itu berstatus sebagai imigran gelap. Ia tidak menceritakan mengapa harus gelap. Yang pasti, status inilah yang menyebabkan dirinya sulit untuk keluar masuk Perancis.
Itu sebabnya mengapa ia menumpang Air Turki dan transit di Istanbul. Dari kota ini baru ia meneruskan perjalanan ke tujuan yang sebenarnya. Sementara istrinya, meski sama-sama imigran tapi bukan imigran gelap, bersama anaknya bisa terbang langsung ke tujuan. Masalah keimanan anaknya yang masih kecil ini, juga menjadi topik pembicaraan kami.
“ Saya benar-benar pesimis dengan keimanan putra kami bila kami terpaksa benar-benar tidak bisa kembali ke tanah air”, keluhnya.
Saya jadi teringat jargon “ Islam Yes Partai Islam No” yang dipopulerkan almarhum Nurcholis Madjid beberapa belas tahun lalu. Jargon ini benar-benar berhasil membuat kalangan muda Muslim ‘alergi’ dari partai berbau Islam. Seolah-olah partai Islam itu ketinggalan zaman, tidak rasional bahkan kampungan ! Apakah pendiri lembaga Paramadina sekaligus bapak Pluralis dan Sekuleris yang memang sempat lama menetap di Amerika dan mengambil ilmu filsafat itu tidak menyadari dampak pemikirannya yang kontroversial itu?
Pantai Gading adalah hanya salah satu buktinya. Jutaan rakyat negri ini harus menderita akibat tak pernah sekalipun mempunyai pemimpin yang seiman. Tercatat selama 52 tahun negri ini memperoleh kemerdekaan hanya satu saja calon dari kalangan Muslim yang maju dalam pemilihan. Itupun gagal pula. Dan kegagalan ini disebabkan ia Muslim !
Adalah Alassane Ouattara, seorang tokoh Muslim mantan perdana mentri Pantai Gading. Ia tertantang untuk mengikuti pemilihan presiden karena presiden yang menjabat waktu itu sectarian. Dengan sengaja pemilik kekuasaan tertinggi Negara ini memunculkan rasa kesukuan salah satu suku rakyatnya dan menciptakan opini bahwa suku lain, dalam hal ini suku-suku Pantai Gading sebelah utara yang mayoritas Muslim, adalah bukan bangsa Pantai Gading. Persis kasus etnis Rohingya di Myanmar yang tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah pusat yang mayoritas beragama Hindu.
Akibatnya dapat diduga, pencalonan Ouatarra tersendat. Pemberontakanpun tak terhindarkan. Timbullah berbagai kerusuhan, menuntut keadilan. Sejarah mencatat bahwa Islam datang ke negri ini pada abad 13, dibawah kejayaan kerajaan Mali. Sementara Kristen masuk pada abad 17. Dengan kata lain, sebenarnya ajaran Islam telah masuk ke negri ini, 4 abad lebih dulu dibanding ajaran Kristen.
Patut menjadi catatan, Islam adalah ajaran yang sangat spesifik. Ia memiliki sejumlah aturan sendiri yang wajib dipatuhi pemeluknya. Itu sebabnya umat Islam memerlukan pemimpin yang benar-benar mengerti, memahami dan menguasai kebutuhan mereka. Dan tentu saja kalau bukan dari kalangan umat Islam sendiri siapa lagi yang lebih patut menjadi pemimpin tersebut. Apalagi Allah swt dengan tegas telah memerintahkan hal tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS.Al-Maidah(5):51).
Artinya, bila kita tetap nekad memilih pemimpin yang bukan dari kalangan kita sendiri ( baca Islam), Allah swt tidak lagi mau melindungi kita. Dan dampak perbuatan ini tidak saja ‘hanya’ kita terima di akhirat nanti, tapi juga di dunia ini. Seperti yang terjadi terhadap saudara-saudari kita di Pantai Gading diatas.
Karena, seperti yang telah disebutkan diatas, umat Islam itu membutuhkan komunitas, fasilitas dan kebijaksanaan yang sangat khas. Misalnya, kebutuhan akan masjid, melaksanakan shalat pada jam kerja, shalat berjamaah di masjid pada hari Jum’at, menjalankan puasa pada bulan Ramadhan, penentuan hari raya iedul fitri dan iedul adha, mengenakan jilbab dalam kehidupan sehari-hari, pemotongan hewan halal, menjauhi riba, minuman keras, perjudian dan pelacuran, hukum waris, hukum perkawinan dan masih banyak lagi.
Umat Islam semustinya harus tahu apa yang menjadi kebutuhan utamanya, mana yang prioritas dan mana yang sekunder. Kebutuhan akhirat adalah yang paling utama. Meski untuk itu kemudahan duniawi berarti juga kebutuhan yang tidak boleh diabaikan. Karena dunia adalah tempat beramal demi bekal kehidupan akhirat kelak. Untuk itu, kemudahan hidup harus diusahakan.
Sebaliknya, seorang pemimpin harus sadar bahwa dirinya adalah pengemban terberat amanah rakyat. Amanah yang dititipkan umat agar ia mengurusi kebutuhan spiritual dan material rakyat yang dipimpinnya. Memberikan kemudahan agar umat dapat beribadah, memuji Tuhannya dengan sebaik mungkin. Menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya, apapun agama, suku dan rasnya. Dan semuanya ini dilakukannya demi mencari ridho Sang Khalik, Allah Azza wa Jallat, penciptanya.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 19 September 2012.
Vien AM.
Leave a Reply