Sabtu 16 Februari 2013. Pagi itu kami dan keluarga besar telah berkumpul, siap menyaksikan upacara sakral yang mudah-mudahan akan menjadi peristiwa penting yang terjadi sekali dalam umur hidup seorang anak manusia. Itulah akad nikah putra sulung kami.
Bukannya kami menolak Poligami yang memang tersirat di dalam ayat suci Al-Quranul Karim. Namun kami berharap mudah-mudahan “ satu lebih baik” akan lebih cocok bagi putra kami tersebut. Karena bagai manapun memiliki istri lebih dari 1 tentu lebih repot. Maklum, perempuan adalah mahluk yang amat sensitif.
Syarat adil yang menjadi syarat utama laki-laki berpoligami bukan saja secara materi namun juga pembagian waktu dan perhatian yang tentu bukan hal yang mudah. Yang bila tidak terpenuhi bukan saja tujuan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah gagal namun pasti malah membuat kehidupan keluarga yang sama sekali tidak nyaman dan tentram.
Kembali ke persiapan akad nikah diatas. Upacara diawali dengan pembacaan ayat 21 surat Ar-Ruum yang biasa dicantumkan di dalam undangan pernikahan. Meski ayat ini sudah sangat sering dibacakan namun suara merdu sang qori kali itu tak urung membuat hati ini merinding hingga tanpa dapat dicegah air matapun deras mengalir turun membasahi pipi dan membuat eye shadow yang hampir tidak pernah saya gunakan itu luntur. Hingga anak perempuan kami yang duduk di sebelah saya segera mengulurkan tangannya berusaha menenangkan ibunya yang cengeng itu.
Usai upacara ia berbisik lirih, “ Terharu bu yaaa .. Kehilangan satu anak deh “, ujarnya. Tapi saya segera menjawab bahwa bukan hal tersebut yang membuat ibunya menitikan air mata.
“ Bukan hilang dong Dil, justru tambah satu, anak perempuan, kakak baru Dilla”, jawab saya tersenyum. Tapi tampaknya ia tidak mempercayai ucapan saya. Ya sudahlah, tidak mengapa, pikir saya. Saya tidak berbohong. Saya memang paling tidak tahan mendengar ayat-ayat suci dibacakan apalagi dengan suara yang merdu seperti suara qori tersebut.
Yang pasti, lega hati ini berhasil mengantar anak kami ke gerbang pernikahan. Yang artinya separuh agama telah dilaluinya. Karena salah satu tujuan menikah adalah agar terhindar dari perbuatan zina. Sementara zina itu dosa yang sangat amat besar di sisi Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi).
Tetapi tak sampai 3 hari kemudian saya baru menyadari bahwa ternyata saya salah. Putra sulung kami, demi karir, setiap hari memang harus berangkat pagi pulang larut malam. Tidak jarang pula ia harus ke luar kota karena tugas kantor. Hingga tidak jarang dalam sehari kami tidak bertemu. Itu sebabnya saya tidak merasa bakal kehilangan dirinya ketika ia menikah. Apalagi sejak kelas 2 SMA ia memang sudah nge-kos di Bandung.
Namun nyatanya tidak demikian. Karena meski ia pulang larut secara tidak sadar saya tetap menantinya pulang. Tidak demikian ketika ia telah menikah. Saya sadar bahwa kini ia telah memiliki seseorang yang sangat istimewa yang telah menjadi belahan dirinya, itulah istrinya. Dengan demikian ia tidak lagi pulang ke rumah, melainkan ke rumah mertuanya, sambil menanti kesiapan pasangan pengantin baru ini mengontrak atau bahkan mungkin mencicil rumah atau apartemen. Dan tiba-tiba saja saya merasa telah kehilangan diri anak sulung kami tersebut.
Maka di suatu sore selepas magrib, tanpa dapat lagi dibendung, tangis saya pecah di depan suami dan anak saya yang lain. Pertanyaan saya satu, « Sudahkah kita cukup membekali anak kita ?? »
Bekal yang saya maksud tentu saja bukan sekedar bekal materi, namun justru bekal iman yang merupakan bekal utama berkeluarga, disamping pendidikan tentu saja. Karena jika dilihat dari sudut duniawi, mestinya ia mampu. Ia telah menyelesaikan jenjang S2nya, di bidang ekonomi. Demikian pula istrinya. Keduanyapun telah bekerja dengan gaji lumayan, Alhamdulillah …
Namun tetap saja pertanyaan “ Mampukah ia untuk subuh berjamaah di masjid, mengajak istrinya untuk selalu shalat berjamaah, untuk secara teratur membaca dan mengkaji Al-Quran, bahkan untuk menutup auratnya, dll? » terus saja meluncur keluar dari mulut ini.
Suami sempat panik juga melihat saya sesenggukan seperti itu. Demikian pula anak perempuan kami. “Ya sudahlah buu .. Kita kan selama ini sudah memberikan contoh. Kita sekolahkan ia di sekolah Islam. Istrinyapun teman di SMP Islam kan, jadi sama-sama tahu kewajiban seorang Muslim dan Muslimah. Insya Allah mampulah”, hibur suami.
“Bukankah menjelang pernikahannyapun kita sudah sengaja menyempatkan diri mencari uztad khusus penasehat perkawinan bagi mereka berdua ? Dan sehari menjelang pernikahannyapun kita undang beliau untuk memberikan tausiyah yang Subhanallah sangat mengena?”, lanjutnya lagi.
Memang betul, kami telah mengundang seorang uztad yang memang ahli dalam bidang tersebut, seorang mantan penghulu. Ini termasuk hal baru. Seorang tetangga, mualaf, yang memberitahu saya hal ini. Menurutnya, orang Kristen, agama lama yang dianutnya, sejak lama memiliki kebiasaan tersebut. Sepasang calon pengantin wajib memiliki semacam pelatihan sebelum menikah. Di dalam pelatihan yang biasanya berlangsung selama 1 tahun ini calon mempelai diajari apa saja kewajiban dan hak mereka sebagai seorang Kristen yang telah berkeluarga.
Saya tidak tahu pasti apakah tetangga saya yang saat ini telah menjadi seorang uztadzah, Subhanallah, yang memberi inspirasi uztad kenalannya untuk menyediakan bimbingan pra nikah atau bukan. Yang jelas darinya saya jadi mencari tahu adanya bimbingan seperti itu. Dan Alhamdulillah saya menemukannya. Meski belakangan saya baru tahu bahwa uztad yang kami undang tersebut ternyata termasuk ulama yang tidak mewajibkan jilbab. Naudzubillah min dzalik …
« Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang ».(QS.Al-Ahzab(33) :59).
Yaaah, saya hanya berharap semoga suatu hari nanti Allah swt memberi hidayah dan menggerakkan hati menantu kami tercinta agar mau menutup auratnya secara sempurna. Toh kami juga sudah mengingatkan anak lelaki kami akan kewajibannya sebagai suami, untuk menyayangi, menafkahi, memimpin dan membimbing istrinya. Dan tentu saja kelak, anak-anaknya. Semoga Allah swt ridho memberi pasangan penganten baru ini dengan anak-anak yang sholeh dan sholehah, aamiin …
Semoga juga tausiyah hari terakhirnya sebagai bujang beberapa hari lalu akan senantiasa diingatnya. Inilah kado terindah dan paling berharga yang dapat kami persembahkan baginya.
« Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) “.
“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. … … ”.(QS.Al-Lukman (31):17-19).
“ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil“.(QS.Al-Isra(17):23-24)
“ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a:
” Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS.Al-Ahqaf(46):15).
Semoga anak kami akan tetap terus mengenang kami berdua sebagai kedua orang yang dititipi-Nya tugas sebagai ayah ibu yang patut mendapat perhatian dan kasih sayangnya. Sebagaimana kami berdua menyayangi dan mencintainya, sepenuh hati.
Meski sebagai orang tua harus kami akui bahwa kami tidak mampu mendidik anak kami tersebut sebagaimana orang-orang besar masa lalu mendidik dan menggembleng anak-anak mereka hingga ke Makkah atau Madinah, demi mendapatkan satu hadis. Atau seperti orang tua lain yang ‘tega’ menitipkan belahan jiwa mereka ke pesantren-pesantren, karena kebesaran jiwa mereka mengakui bahwa mereka tidak mampu mendidik anak-anak mereka sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah.
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” . (QS. Adz-Zariyaat(51):56).
Ya Allah maafkan kami yang hanya mampu mendidik titipan-Mu sebatas ini.
Sungguh betapa ’iri’ hati ini membaca Republika beberapa hari lalu.
Adalah Kamil Lubudy dan Rossa, pasangan suami istri muda asal Mesir, yang dua-duanya apoteker. Sebelum menikah keduanya tidak hafal Al-Quran. Namun setelah menikah, mereka bertekad ingin menghafal ayat-ayat suci tersebut. Ini berlangsung hingga ketika Rossa hamil dan melahirkan putra pertama yang kemudian diberi nama Taabarok.
Tekad kuat pasangan muda ini ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Tidak saja mereka berdua yang berhasil menghafal ayat-ayat Al-Quran, namun juga putra mereka. Pada usia 4.5 tahun, Taabarok dinobatkan sebagai hafidz termuda di dunia oleh Liga Muslim Dunia. Anak usia TK ini lulus diuji oleh sejumlah hafidz tingkat internasional. Hebatnya lagi, kedua adiknya yang lahir beberapa tahun kemudian juga berhasil menyamai rekor kakak mereka. Ketiganya telah khatam Al-Quran pada usia 3.5 tahun. Dan setahun kemudian menjadi hafidz semua. Subhanallah … Benar-benar sebuah kado pernikahan yang tak ternilai harganya …
Pelajaran bagi kita, tidak ada alasan umur apalagi kesibukan untuk menghafal ayat-ayat Al-Quran. Selama niat dan tekad kuat ada dalam diri ini, insya Allah, Sang Khalik akan memudahkannya, bahkan menambahnya.
Semoga bukan mimpi kosong, bila kami berdua yang telah berusia lebih dari setengah abad ini berkeinginan memperbaiki kekurangan dalam mendidik anak yang tidak maksimal ini, suatu hari nanti bakal mendapatkan keturunan yang benar-benar berkwalitas dalam pandangan-Nya, aamiin aamiin aamiin ya robbal aalamiin ..
Jakarta, 28 Februari 2013.
Vien AM.
Leave a Reply