Seorang sahabat memohon kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah lapangkan hatimu kepada Abdullah bin Ubay. Sungguh Abdullah bin Ubay bin Salul itu adalah orang yang sakit hati. Sebelum engkau menjelang datang ke Madinah, kaumnya telah bersepakat mengangkatnya menjadi raja. Sudah menyiapkan tahta dan singgasananya. Tapi kemudian engkau hadir ya Rasulullah. Lalu kaumnya batal mengangkatnya jadi raja. Maka betapa sakit hatinya ia karena kedatanganmu ya Rasulullah…”
Itulah awal ketidak-sukaan Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap Rasulullah dan Islam. Abdullah bin Ubay bin Salul adalah seorang pemuka Madinah dari suku Khazraj yang disegani penduduk Madinah. Ketika itu Madinah masih bernama Yathrib. Namun dengan kedatangan Rasulullah ke kota tersebut, dan disambut serta di elu-elukan penduduk, baik suku Aus maupun Kazraj yang sebelumnya selalu bertikai, pamornyapun turun.
Kedatangan Rasulullah yang disambut dan langsung didaulat penduduk Madinah tentu tak lepas dari skenario Allah swt. Bagaimana tidak, Rasulullah yang berdakwah selama 10 tahun di Mekah hanya berhasil mengajak 70 orang menjadi Musiim. Itupun setelah melalui penentangan dan permusuhan yang amat sangat dari penduduk. Bahkan Rasulullah beserta pengikut dan keluarga pernah di boikot secara ekonomi oleh mereka. Sedangkan di Madinah hanya dalam waktu 2 tahun Islam telah berhasil memiliki kekuatan militer hingga mampu melawan pasukan Qurasy yang didukung Yahudi.
Keberhasilan dakwah Rasulullah di Madinah dimulai dengan terjadinya baiat Aqibat 1 dan 2 pada tahun ke 11 dan 12 kerasulan, yaitu pada tahun 622 M. Dengan bekal ke 2 baiat yang intinya merupakan janji setia penduduk Madinah kepada Allah, Rasul dan ajarannya, maka Rasulullah beserta seluruh sahabat hijrah ke Madinah. Di sanalah akhirnya terbentuk negara Islam Madinah, dengan Rasulullah sebagai kepala negaranya. Pada masa itu pulalah Yatsrib berganti nama menjadi Madinah.
Madinah di zaman sebelum datangnya Islam selain dihuni suku Aus dan Khazraj, terdapat pula orang-orang Yahudi. Mereka terdiri dari tiga qabilah besar yaitu kabilah Qainuqa’, kabilah al-Nadhir dan kabilah Quraidzah. Ketiga kabilah ini menguasai ekonomi penduduk kota Madinah.
Hasil pendapatan mereka yang terbesar adalah keuntungan dari penggadaian barang dan riba. Keadaan Madinah sebagai kawasan pertanian memberi peluang mereka melakukan kedua hal tersebut. Orang-orang Yahudi yang sejak dulu dikenal licik dan licin itu memeras suku Aus dan Khazraj yang kebanyakan petani itu, dengan cara gadai, sementara menunggu datangnya musim panen. Lebih menyedihkan lagi barang yang digadaikan bukan hanya uang atau harta benda, tapi juga kaum perempuan dan anak-anak !.
Tak heran bila akhirnya ke dua suku tersebut sangat membenci orang-orang Yahudi. Namun sekali lagi dengan modal sifat licin mereka, ke dua suku yang sejak awal sudah sering bermusuhan itu, sering dipanas-panasi dan di adu domba hingga keduanya tidak pernah akur dan mau bersatu. Akibatnya orang-orang Yahudi tetap bisa menguasai mereka hingga datangnya Islam. Dan sejak itulah kedua suku tersebut dinamakan kaum Anshar yang artinya membantu, yaitu membantu Rasulullah dan para sahabat. Sedangkan para sahabat selanjutnya disebut kaum Muhajirin.
Sayangnya, Abdullah bin Ubay bin Salul, pemuka Madinah yang batal menjadi raja itu, tidak berhasil menyingkirkan rasa sakit hatinya. Meski ia ikut memeluk Islam sebagaimana kaumnya, penyakit yang terus dipeliharanya itu akhirnya berkembang menjadi duri menyakitkan yang merugikan kekuatan umat yang baru terbentuk itu.
Kedekatan dan persahabatannya dengan kaum Yahudi yang sangat membenci kaum Muslimin, menambah ketidak-sukaan tersebut. Hingga ketika Rasulullah memerintahkan hukuman bagi bani Qainuqa yang telah mengkhianati perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, ia berani membantah perintah tersebut.
“Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“, serunya.
Tanpa memperhatikan air muka Rasulullah yang kesal, hal itu terus diulanginya sampai 3 kali. Akhirnya Rasulullahpun menjawab ketus : “Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini !”.
Dalam perang Uhud, pemuka Madinah ini berhasil menghasut 300 orang pasukannya untuk mundur ( desersi) saking takutnya melihat jumlah musuh yang banyak. Akhirnya pasukan kaum Muslimin yang tinggal 700 orang itu terpaksa berperang dengan susah payah melawan 3000 musuh. Al-Quran mengabadikan kejadian tersebut di dalam ayat 121 -125 surat Ali Imran.
Selanjutnya, dalam perjalanan pulang ke Madinah, usai perang melawan Yahudi banu Musthaliq, Abdullah bin Ubay kembali berulah. Ia yang merasa kuat itu, berkata kepada pasukannya bahwa ia akan mengusir kaum Muslimin, yang dianggapnya kaum yang lemah. Zaid bin Arqam yang mendengar hal tersebut melaporkannya kepada Rasulullah, hingga Umar bin Khaththab yang ketika itu berada di samping Rasul meminta Rasul agar membunuh tokoh munafik tersebut. Akan tetapi Abdullah tidak mengakuinya dan malah menuduh Zaid telah memfitnahnya. Hingga turun ayat yang membenarkan kesaksian Zaid yaitu ayat 8 surat Al-Munafikun. Namun demikian Rasulullah tetap tidak mau memenuhi permohonan Umar.
“Tidak wahai Umar. Nanti apa kata orang bahwa Muhammad membunuh sahabatnya. Demi Allah tidak.”
Pada peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah ra, Abdullah juga terbukti berperan mengomporinya sehingga Rasulullahpun hampir ikut mempercayainya.
Sikap lembut dan lunak Rasulullah terhadap Abdullah, meski sudah terbukti berkali-kali meng-khianati Islam, menunjukkan harapan agar suatu ketika tokoh Madinah ini mau insyaf, dan mau beriman dengan sebenar-benar iman. Sepertii yang terjadi terhadap tokoh Quraisy Abu Sofyan, yang awalnya sangat memusuhi Islam namun setelah memeluk Islam membuktikannya dengan sangat baik.
Hingga suatu hari di tahun ke sembilan Hijriyah, sepulang dari perang Tabuk, Rasulullah saw mendengar kabar bahwa Abdullah bin Ubay menderita sakit. Rasulullah saw menyempatkan diri untuk membesuknya. Dan ketika akhirnya Abdullah bin Ubay meninggal, putranya, Abdullah bin Abdullah, meminta Rasulullah meminjamkan jubah Rasulullah, Rasulpun juga mengabulkannya. Begitupun ketika putra Abdullah yang merupakan salah satu sahabat pilihan meminta agar Rasulullah sudi men-sholatkannya, Rasulpun tidak menolak permintaan tersebut.
Hingga Umar berkata “ Ya Rasulullah, Allah melarangmu memohonkan ampun mereka. Ia memfitnah Aisyah berzina, ia mengatakan akan mengeluarkan orang mukmin dari Madinah. Ia pembuat fitnah. Ia memisahkan diri dari perang. Ia memecah belah kaum muslimin”.
“Tidakkah engkau dengar wahai Umar? Tuhanku memberikan pilihan bagiku.. ‘engkau mohonkan ampun atau tidak engkau mohonkan ampun sama saja”, (surat A-Taubah ayat 80), maka aku akan memilih memohonkan ampun wahai Umar…”.
Umar terkesiap, dan segera ia beristighfar dan memohon ampun atas kelancangannya memaksa nabi. Meski kemudian, selesai Rasulullah men-shalat-kan tokoh munafik tersebut, turun ayat berikut : “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [QS At Taubah(9): 84]
Maka sejak itu Rasulullah melarang dan tidak pernah lagi men-shalat-kan orang yang jelas-jelas menunjukkan kemunafikan. Karena sebagai manusia kita hanya bisa melihat keadaan dzahir seseorang, urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT. Namun dengan menyimak apa yang telah dilakukan Abdullah bin Ubay bin Salul, sifat-sifat ke-munafik-an dapat kita lihat dan pelajari.
Dari Abu Hurairah “Kamu sekalian, satu sama lain janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”. (HR. Muslim).
Tetapi apa yang terjadi hari ini sungguh memilukan. Persaudaraan sesama Muslim sangat rapuh. Bahkan para ulamapun dikriminalisasi, difitnah dan dijadikan bulan-bulanan sesama Muslim. Dan itu semua demi melindungi satu orang kafir yang saking inginnya dipilih menjadi pemimpin maka iapun meng-olok-olok ayat kitab suci yang bukan agamanya, dengan mengatakan ” dibohongi pakai ayat 51 Al-Maidah”. Tidakkah itu lebih parah dari pada perbuatan Abdullah bin Ubay si tokoh munafikun yang melindungi teman Yahudinya dari hukuman yang dijatuhkan Rasulullah ??? Tidakkah itu sama dengan mengkhianati perjuangan Rasulullah dan para sahabat yang telah bersusah-payah menegakkan Islam di muka bumi ini???
Ironisnya lagi, tetap saja ada orang yang mengaku Muslim namun tetap memilih orang tersebut. Padahal ayat larangan tersebut bukannya hanya satu, tapi banyak. Yaitu Ali Imran ayat 28 dan 49, An-Nisa ayat 138-144, Al-Maidah ayat 51-57, At-Taubah ayat 23 dan Al-Mujadillah ayat 14. Bahkan ayat-ayat tersebut berlanjut dengan berbagai ancaman, diantaranya label Munafik, yang tempatnya adalah neraka tingkatan paling bawah! Itulah tingkatan neraka yang paling mengerikan. Na’udzubillah min dzalik …
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIK bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang KAFIR menjadi AULIYA dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. ( Terjemah QS. An-Nisa (4):138-139).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang KAFIR menjadi AULIYA dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? Sesungguhnya orang-orang MUNAFIK itu (ditempatkan) pada TINGKATAN PALING BAWAH NERAKA. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”.( Terjemah QS. An-Nisa (4):144,145).
Dalil penolakan yang mereka gunakan bermacam-macam. Diantaranya adalah bahwa AULIYA yang dimaksud adalah teman setia/kepercayaan, bukan pelindung apalagi pemimpin. Padahal kalau teman setia atau pelindung saja tidak boleh apalagi mengangkatnya sebagai pemimpin!
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai AULIYA orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai AULIYA, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. ( Mumtahanah (60): 9).
Ayat diatas sering dijadikan alasan pembenaran dalam memilih pemimpin non Muslim, khususnya gubernur DKI petahana, Ahok. Pertanyaannya, benarkah Allah swt membolehkan hal tersebut? Berikut adalah asbabun nuzul ayat di atas.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa seorang wanita kafir yang bernama Qatilah iaitu ibu kandung kepada Asma datang kepada Asma binti Abu Bakar. Setelah itu Asma bertanya kepada Rasulullah: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab: “Ya boleh”. Maka turunlah ayat ini (Surah al Mumtahanah: 60: 8) sebagai penjelasan bahawa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. (Diriwayatkan oleh al Bukhari dari Asma binti Abu Bakar)
Itu sebabnya maka para ulamapun menyimpulkan bahwa Auliya yang dimaksud ayat tersebut adalah teman setia/orang dekat, bukan pemimpin. Inilah bentuk keadilan dan toleransi dalam Islam. Silaturahim antar umat beragama sangat penting, dan itu harus dijaga serta dipelihara dengan baik. Tapi tidak berarti boleh menjadikan mereka sebagai pemimpin. Karena pemimpin, terutama pemimpin strategis, adalah orang yang berhak membuat kebijakan bagi orang yang dipimpinnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa tunduk kepada kebijaksanaan seorang pemimpin yang tidak meng-imani apa yang di-imaninya??
Dan lagi, seandainyapun Aulia di atas diartikan sebagai pemimpin, adakah Ahok memiliki kriteria sebagaimana disebutkan ayat di atas ? Bila ya, mengapa ia suka menyakiti umat Islam, dengan mengolok-olok jilbab yang katanya seperti serbet, melarang takbir keliling, boleh minum bir asal tidak mabuk, mempermasalahkan kurban di sekolah, mengganti seragam Muslim murid SD, bolak balik menggusur penduduk dan menjauhkan mereka dari masjid tempat mereka biasa berkumpul, penduduk Luang Batang misalnya, yang telah tinggal di tempat mereka sejak zaman Belanda. Juga penghancuran masjid bersejarah di TIM yang katanya akan direnovasi namun hingga detik ini tidak ada tanda-tandanya, dan masih banyak lagi. Terakhir ia malah berani mengutak-ngatik ayat kepemimpinan dalam Al-Quran, melecehkannya dengan menjadikannya wifi dengan password kafir, bahkan seenaknya membentak-bentak ulama!!
Sekali lagi, kita memang tidak berhak menghakimi bahwa seseorang munafik atau tidak. Apalagi bila kemunafikannya tidak diperlihatkan secara dzahir.( Munafik terdari dari 2 macam, yaitu munafik besar/Keyakinan (Nifaq I’tiqadi) dan munafik kecil/Perbuatan ( Nifaq ‘Amali). ( Lihat https://almanhaj.or.id/3164-nifaq-definisi-dan-jenisnya.html).
Tapi paling tidak Al-Quran telah menerangkan tanda-tandanya dengan jelas. Maka sudah sewajarnya bila kita harus berhat-hati, jangan sampai Allah swt memasukkan kita ke dalam golongan orang munafik. Na’udzubillah min dzalik …
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. ( Terjemah QS. An-Nisa (4):142).
“Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya”.(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 22 Februari 2017.
Vien AM.