Jepang adalah negara yang tercatat paling sering mengalami gempa bumi hingga mendapat julukan negara gempa dan angin Topan. Secara geografik negri Sakura ini memang terletak tepat diatas wilayah yang disebut Cincin Api Pasifik atau Pacific Rings of Fire. Dinamakan demikian karena banyaknya gunung berapi aktif di wilayah tersebut. Di tempat ini pulalah terjadi pertemuan antara tiga lempeng tektonik yang sangat aktif, yakni lempeng tektonik Pasifik, lempeng tektonik laut Filipina dan lempeng Eurasia. Itu sebabnya ketika ke 3 lempeng tersebut saling bergesekan gempapun rawan terjadi.
Namun bukan Jepang namanya kalau gampang menyerah. Paska gempa berkekuatan 7,9 SR yang menimpa Kanto pada tahun 1891 dan menewaskan sekitar 140.000 orang di wilayah sekitar Tokyo, negara tersebut segera berbenah diri. Jepang segera membangun kembali kota-kota yang hancur tersebut mengikuti skema alam. Mungkin di dunia, hanya Jepang yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar guna mengantisipasi gempa demi melindungi rakyatnya dari dampak bencana yang bisa terjadi kapan saja.
Seluruh gedung tinggi dan perkantoran, bahkan rumah penduduk di Jepang, didisain anti gempa. Jutaan lift yang ada di dalam gedung-gedung tinggi di desain langsung tidak berfungsi begitu gempa terjadi. Demikian pula subway yang merupakan alat transportasi umum rakyat. Juga reaktor nuklir, langsung mati begitu ada gempa. Sistem antisipasi gempa dini (Early Warning System) bekerja jauh sebelum bencana datang.
Taman-taman luas dengan kolam nan indah yang ada di setiap titik kota sejatinya selain sebagai paru-paru kota, juga adalah sebagai titik evakuasi tempat berkumpulnya warga ketika gempa terjadi. Jepang juga mewajibkan siswa sekolah dasar agar mengikuti kurikulum Antisipasi mengatasi gempa dan tsunami. Tidak hanya teori tapi juga latihan menghadapi bencana tersebut dilakukan secara rutin.
Namun tak urung pada suatu dini hari di bulan Januari 1995, di puncak musim dingin, gempa berkekuatan 7,3 SR mengguncang Kansai. Pusat gempa sekitar 20 km dari Kobe. Gempa yang dikenal dengan sebutan The Great Kobe Earthquake dan hanya berlangsung sekitar 20 detik ini berhasil meluluh-lantakkan seluruh kota Kobe. Meninggalkan korban sekitar 5.000 orang tewas, 35.000 orang cedera, ratusan ribu bangunan rusak parah dan 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Inilah gempa pertama yang menyerang kawasan Jepang modern padat penduduk. Kehancuran diperparah dengan kebakaran hebat paska gempa.
Baik pemerintah maupun penduduk Jepang tak mengira sama sekali bahwa gempa tersebut mampu menghancurkan Kobe. Perhatian Pemerintah Jepang saat itu lebih banyak pada kawasan Kanto yang puluhan tahun lalu hancur lebur. Kawasan Kansai (Osaka, Kobe, dan Kyoto) dianggap zona aman. Dari segi jumlah korban, gempa Kanto memang tetap merupakan yang terbesar dalam sejarah Jepang. Namun, gempa Kobe merupakan pukulan maha berat mengingat perbaikan dan kesiapan yang selama itu dianggap cukup memadai.
Kobe yang memiliki luas 546 kilometer persegi adalah kota keenam terbesar di Jepang dengan populasi 1,6 juta jiwa (1993). Pelabuhan Kobe saat itu menempati peringkat enam terbesar di dunia. Namun dalam hitungan detik kota tersebut nyaris rata dengan tanah. Kecuali …. sebuah banguan milik umat Islam. Ya, bangunan tersebut adalah masjid Kobe, satu-satunya masjid di kota tersebut, Allahu Akbar …
Tak heran bila kemudian rumah ibadah umat Islam tersebut kabarnya sempat di sakralkan masyarakat Jepang. Masjid ini dijadikan tempat berlindung tidak hanya umat Islam Kobe tapi juga masyarakat kota Kobe yang sebagian besar kehilangan tempat tinggal.
Datangnya Islam di Jepang.
Syiar Islam di Jepang baru dimulai pada menjelang berakhirnya Perang Dunia I (1914 – 1918), dengan berdatangannya kaum Muslimin Tartar yang melarikan diri dari ekspansi Rusia. Rata-rata mereka adalah pedagang. Untuk menjaga keimanan dan keislaman, diantaranya demi menjaga shalat berjamaah, secara berkala mereka berkumpul di salah satu rumah mereka.
Kemudian ketika datang menetap sejumlah pedagang India yang kaya dan mendirikan Kobe India Club, kaum Muslimin yang sebagian besar asli Tartarpun ikut bergabung. Untuk melaksanakan acara-acara yang lebih besar, mereka menyewa aula di sebuah hotel bernama Tor.
Kebutuhan terhadap keberadaan masjid yang begitu membuncah membuat kaum Muslimin yang jumlahnya makin meningkat itu berusaha mengumpulkan dana pembuatannya. Hingga pada tahun 1928 dimulailah pembangunan masjid yang akhirnya selesai dan diresmikan pemakaiannya pada tahun 1935. Itulah masjid Kobe, masjid pertama di seantero Jepang. Rumah ibadah tersebut terletak di Nakayamate Dori, Chuo-ku, Kobe. Disanalah selanjutnya kaum Muslimin melakukan berbagai kegiatan dan ibadah.
“ Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”, ( Terjemah QS.An-Nuur (24):36).
Beruntung pada bulan September yang baru lalu kami diberi kesempatan Allah swt untuk mengunjungi masjid tersebut. Dengan menumpang Shinkansen, kereta api super cepat yang ber-kecepatan rata-rata 320 km/jam, kami tiba di Kobe dari Osaka.
Menurut seorang mahasiswa Indonesia asal Bandung yang bekerja paruh waktu di minimarket Muslim di sebrang masjid, setiap Sabtu pagi banyak keluarga Muslim Indonesia hadir mengikuti kajian di masjid tersebut.
Di kota pelabuhan tersebut kami juga sempat melewati beberapa toko berlabel Halal. Meski kami harus sedikit menahan kecewa karena tidak berhasil menemukan kebab Turki kesukaan si bungsu.
Masjid Kobe sebenarnya bukan sekali itu saja lolos dari bencana besar. Pada tahun 1945, menjelang berakhirnya Perang Dunia II, bersama Hiroshima, Nagasaki, Tokyo dan Yokohama, Kobe turut menjadi sasaran bom yang dijatuhkan pasukan Amerika Serikat dan sekutunya.
Dalam hitungan detik sebagian besar gedung dan bangunan yang terdapat di kota-kota besar tersebut hancur berantakan. Dan dari sangat sedikit bangunan yang dilaporkan bisa bertahan, masjid Kobe adalah salah satunya. Bahkan di Kobe, nyaris hanya masjid inilah satu-satunya bangunan besar yang tidak hancur. Masjid ini hanya mengalami retak pada dinding luarnya, disamping semua kaca jendela yang pecah dan bagian luar masjid menjadi kehitaman akibat asap bom. Sementara bangunan sekolah yang terbuat dari kayu dan tempat wudhu di samping masjid rusak parah.
Perlindungan terhadap masjid Kobe sudah pasti karena kehendak Allah swt. Namun itu bukan berarti umat Islam Kobe hanya pasrah saja. Pada tahun 1939 ketika Perang Dunia II baru mulai meletus, umat Islam Kobe yang jumlahnya tidak seberapa itu, berusaha melindungi masjid yang dengan susah dibangun dan baru diresmikan 4 tahun sebelum perang, yaitu tahun 1935. Caranya yaitu dengan melapisi lantainya yang indah itu dengan kertas minyak, tatami, dan terakhir pasir setebal sekitar 2.5 cm. Hal tersebut untuk mencegah agar masjid tidak terbakar. Meski sebagai akibatnya selama perang berlangsung masjid tidak dapat digunakan untuk shalat dan kegiatan lainnya.
Selanjutnya pada tahun 1943, masjid ditutup oleh Angkatan Laut Jepang untuk dijadikan tempat berlindung tentara. Lantai dasar masjid dijadikan tempat penyimpanan barang. Paska bom 1945 rumah ibadah kaum Muslimin ini resmi dijadikan tempat pengungsian korban perang.
Masjid Kobe baru kembali ke pangkuan umat Islam 2 tahun setelah perang berakhir, yaitu pada tahun 1947. Kaum Muslimin, kebanyakan orang-orang Tartar dan India, yang selama perang mengungsi ke luar negri berbondong-bondong kembali ke Kobe. Mereka mendapati rumah mereka telah hancur lebur karena bom. Syukur Alhamdulillah Sang Khalik berkenan membuka hati mereka yang telah menyita masjid Kobe untuk diserahkan kembali kepada umat Islam. Dan dengan bantuan negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi dan Kuwait, masjid segera diperbaiki hingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bersambung.
Leave a Reply