Ber-husnuzhan atau berbaik sangka kepada Allah swt adalah perbuatan yang sangat tinggi nilai ibadahnya. Baik sangka kepada Sang Pencipta, terutama ketika terjadi musibah atau hal-hal yang tidak kita sukai, tidak hanya membuat hati menjadi tenang, namun juga mendatangkan pahala yang tak terkira dari-Nya. Allah swt sangat mencintai orang yang berbaik sangka pada-Nya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingat-Ku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu dikeramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kasih sayang Allah swt jauh lebih besar dari kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Oleh karena itu tidak mungkin Allah swt men-dzalimi hamba-Nya. Dia akan mengabulkan doa dan permintaan orang yang memintanya. Masalahnya banyak orang yang berdoa dan meminta sesuatu yang dianggapnya baik dan bakal menyenangkannya. Padahal Dia mengetahui apa yang paling baik bagi hamba-Nya. Ia memperkenankan doa melalui apa yang Ia anggap patut untuk kita, dengan cara-Nya.
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Terjemah QS. Ghofir(40): 60).
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam; ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR. Tirmizi).
Berikut kisah khalifah Umar bin Khattab ra yang suatu ketika pernah kecewa karena tawarannya kepada khalifah Abu Bakar ra maupun khalifah Ustman bin Affan untuk menikahi putrinya, Hafsah, ditolak dengan alasan yang tidak begitu jelas.
“Hafsah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafsah (yaitu putri beliau Ummu Kultsum)”, begitu jawaban Rasulullah ketika Umar mengadu hal yang merisaukannya itu.
Dan ternyata laki-laki yang dimaksud Rasulullah lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman tak lain dan tak bukan adalah Rasulullah sendiri. Betapa bahagianya Umar mendengar jawaban tersebut. Dikemudian hari Umar mengungkapkan penyesalannya atas buruk sangkanya pada Allah swt.
Sementara itu beberapa waktu sebelum turunnya surat Al-Kautsar, orang-orang Quraisy mengejek dan mentertawakan nasib yang menimpa rasulullah. Pasalnya adalah putra-putri yang dimiliki rasulullah. Allah swt menganugerahi rasulullah 4 putri dan 2 putra dari rahim satu-satunya istri Rasulullah ketika itu, yaitu Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha. Dan seorang putra yang lahir dari Maria al-Qibtiyah. Malangnya ketiga putra rasulullah tersebut wafat sebelum usia mereka mencapai 2 tahun. Padahal ketika itu putra laki-laki adalah lambang kehormatan. Sedangkan anak perempuan adalah aib dan lambang kehinaan.
https://kisahmuslim.com/4279-mengenal-putra-dan-putri-rasulullah.html
Dengan turunnya surat Al-Kautsar, Allah swt menerangkan bahwa keyakinan orang-orang Quraisy tersebut tidak benar. Barang siapa bersikukuh dengan pendirian jahiliyah tersebut maka terputuslah ia dari rahmat Allah swt.
“ Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”.( Terjemah QS. Al-Kautsar(108):3).
Turunnya surat tersebut juga merupakan hiburan tersendiri bagi rasulullah. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Diantaranya contoh kesabaran rasulullah dalam menghadapi wafatnya anggota keluarga, tidak hanya 3 putra tapi juga ke 4 putrinya yang tidak berumur panjang. Wafatnya putra-putra rasulullah juga bisa diambil hikmahnya agar di kemudian hari orang tidak mengkultuskan mereka. Karena sebagaimana kita ketahui Hasan dan Husein bin Ali bin Abu Thalib yang “hanya” cucu saja telah dikultuskan orang-orang Syiah.
Demikian pula dengan adanya ayat warisan 2:1 untuk anak laki-laki. Tidak sepatutnya kita berburuk sangka pada Sang Khalik. Ia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Laki-laki bertanggung-jawab terhadap istri, anak-anak dan kedua orang-tuanya. Bahkan saudarinya bila saudarinya tersebut belum menikah. Jadi harta yang 2 bagian tersebut harus dibagikan kepada mereka.
Sementara perempuan hanya bertanggung-jawab pada dirinya sendiri. Jadi bagian yang hanya 1 itu tidak perlu dibagi kepada siapapun, bahkan bisa dan boleh ia habiskan sendiri.
Namun demikian tidak sedikit ketentuan Allah yang tidak dapat kita ikuti melalui akal dan pikiran kita. Oleh sebab itu agar kita tidak sakit hati dan putus asa ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita, lebih baik kita pasrahkan segalanya pada-Nya. Tidak perlu kita menerka-nerka apa yang tidak kita miliki ilmunya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. … … “.(Terjemah QS.Al-Baqarah (2):286).
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Terjemah QS.Al-Baqarah(2:216).
Itulah yang terjadi terhadap Shalahuddin al Ayyubi, pahlawan besar sang penakluk Yerusalem pada tahun 1187M. Shalahudin seperti layaknya anak muda pada masanya sangat mencintai dunia sepak bola. Sedikitpun tidak pernah terlintas dalam pikirannya suatu ketika ia harus berperang apalagi menjadi pemimpin perang dalam suatu perang besar yang menjadi titik balik kebesaran Islam. Meskipun Shalahuddin tidak membencinya, karena sebenarnya ayah dan bahkan pamannya waktu itu adalah seorang panglima perang.
http://manfaatputih.blogspot.co.id/2013/08/sejarah-singkat-salahuddin-al-ayyubi.html
Namun demikian ber-husnuzhan itu tidak lantas kita bisa bertindak semau kita. Husnuzhan harus diiringi dengan perbuatan yang sesuai dengan syariat, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (roja’), barangsiapa pengharapannya membawa kepada ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah harus disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak, maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah.”
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tiga hari sebelum wafat bersabda: “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Wallahu ‘alam bish shawwab.
Jakarta, 29 Januari 2018.
Vien AM.
Leave a Reply