Feeds:
Posts
Comments

Archive for July, 2022

Pada suatu pagi di dataran tinggi Skotlandia, beberapa mobil mulai berdatangan ke parkiran A890 di sebuah hutan di Glen Caron. Prakiraan cuaca mengatakan hari itu akan hujan, tetapi matahari menyembul sejenak ketika sekelompok pendaki bersiap-siap untuk menempuh perjalanan menanjak sejauh 10 kilometer di Gleann Fhiodhaig, Wester Ross, Skotlandia.

Pemandangan seperti ini dapat ditemukan di ratusan parkiran mobil di seluruh Skotlandia setiap akhir pekan. Bedanya, kelompok yang terdiri dari 20 pendaki ini adalah peziarah. Mereka hendak mengunjungi makam seorang aristokrat dari zaman Ratu Victoria.

Mereka datang dari Edinburgh, Liverpool, Leicester, dan tempat-tempat lain yang lebih jauh untuk memberi penghormatan pada Lady Evelyn Cobbold – orang yang dianggap sebagai perempuan mualaf pertama yang lahir di Inggris dan melakukan ibadah haji ke Mekah.

Kegiatan keagamaan itu diselenggarakan oleh The Convert Muslim Foundation, yayasan berbasis di Britania Raya yang memberikan sokongan bagi orang-orang yang baru masuk Islam. Yayasan tersebut didirikan oleh Batool Al-Toma, seorang mualaf dari Irlandia. Perempuan itulah yang mengundang para mualaf untuk mendaki gunung.

“Sejak saya mendengar tentang Lady Evelyn, saya tertarik pada ceritanya. Dia wanita tangguh yang tidak membiarkan dirinya diremehkan hanya karena dia perempuan,” kata Al-Toma.

Tidak lama setelah mereka berjalan, hujan mulai turun. Topi dan tudung tahan air pun menutupi kepala dan hijab. Seiring angin dan hujan menerpa, para peziarah merenungkan perjalanan terakhir Lady Evelyn di lembah itu menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Ia meninggal pada Januari 1963 pada musim dingin yang lebih dingin dari biasanya dan dikubur di lereng bukit terpencil di perkebunan Glencarron miliknya. Dalam pemakamannya, seorang peniup bagpipe yang “gemetaran karena kedinginan” memainkan MacCrimmon’s Lament (lagu ratapan Skotlandia untuk orang yang meninggal dunia). Kemudian seorang Imam dari Woking, Surrey melakukan ritual penguburan, menurut kesaksian yang dipublikasikan di situs web Masjid Inverness.

Kaitan dengan Woking itu masih ada. Seorang perwakilan dari masjid di kota tersebut ikut serta dalam ziarah ke kuburan Lady Evelyn hampir 60 tahun kemudian.

Lahir di Edinburgh pada akhir 1800-an, Lady Evelyn menghabiskan masa kecilnya di Skotlandia dan Afrika Utara. Di Afrika, ia pertama kali mengenal Islam, berkunjung ke masjid bersama kawan-kawannya dari Aljazair. Lady Evelyn menikah dengan John Cobbold pada 1891 setelah bertemu saat melancong di Kairo.

“Tanpa disadari, dalam hati saya sudah sedikit Muslim,” tulisnya di kemudian hari.

Tidak ada yang tahu pasti kapan perempuan itu mulai memeluk Islam. Namun pertemuan kebetulan dengan Paus saat ia berkunjung ke Roma tampaknya menguatkan keyakinannya.

“Ketika Yang Mulia tiba-tiba berbicara kepada saya dengan bertanya apakah saya seorang Katolik, saya terkejut sejenak kemudian menjawab bahwa saya Muslim,” ujarnya.

“Entah apa yang merasuki saya, saya sama sekali tidak tahu karena saya sudah bertahun-tahun tidak memikirkan Islam.”

Di Timur Tengah, Lady Evelyn dikenal dengan nama Lady Zainab oleh kawan-kawan Arabnya. Ia punya akses luas dan pernah menulis tentang “pengaruh dominan perempuan di budaya Muslim”.

Pada usia 65 tahun, ia menunaikan haji ke Mekah, perempuan Inggris pertama yang melakukan ibadah ini.

Salah seorang Mualaf yang berziarah ke makam Lady Zainab adalah Yvonne Ridley, yang tinggal di perbatasan Skotlandia. Ridley masuk Islam setelah bekerja sebagai jurnalis di Afghanistan dan ditangkap oleh Taliban pada 2001.

“Keputusan saya untuk masuk Islam dipicu, dengan banyak cara, oleh penangkapan dan penahanan saya oleh Taliban. Pengalaman itu mengarahkan saya pada jalan yang awalnya sekadar kegiatan akademik namun menuntun saya pada perjalanan spiritual,” ujarnya.

Dalam memoarnya, In the Hands of the Taliban, Ridley mengatakan ia kagum dengan sikap hormat dan kesopanan yang ditunjukkan para pria Taliban kepadanya. Selama penahanannya ia berjanji akan mempelajari Al-Quran dan melakukannya setelah ia dilepaskan.

Ridley belajar tentang Lady Evelyn dari Al-Toma ketika mereka di Turki. “Saya mulai membaca lebih banyak tentang perempuan Skotlandia yang luar biasa ini, kemudian Batool dan saya memutuskan kami akan mengajak sekelompok mualaf untuk berziarah ke makamnya,” kata Ridley.

Setelah tiga jam pendakian dalam cuaca dingin dan basah, para peziarah beristirahat sejenak sementara pemandu mereka, Ismail Hewitt, yang mengenakan kilt, berjalan lebih jauh untuk mencari tempat peristirahatan terakhir Lady Evelyn.

Semangat mereka bangkit ketika ia melambai dari kejauhan, memberi sinyal bahwa tempatnya sudah kelihatan, tidak jauh di atas bukit. Kelompok mualaf itu berjalan ke sana kemudian berkumpul dan berlutut di sekeliling batu nisannya.

Satu per satu dari mereka memberi penghormatan sebelum berdoa bersama. Momen ini sungguh mengharukan dan beberapa orang bahkan sampai menangis. Al-Toma menutup upacara tersebut dengan membacakan cuplikan dari buku yang ditulis Lady Evelyn tentang perjalanan hajinya ke Mekah.

“Apakah yang terjadi dalam beberapa hari ke belakang selain minat, keajaiban, dan keindahan yang tak ada habisnya. Bagi saya, sebuah dunia baru yang menakjubkan telah terungkap.”

Setelah berjalan kembali ke jalanan, para peziarah diundang ke masjid di Iverness untuk makan bersama dan merenungkan perjalanan yang baru mereka lakukan. Ridley berkata ia merasa letih sehabis perjalanan, namun doa bersama di makam Lady Evelyn “menggetarkan jiwa”.

“Ada seekor rusa yang muncul di bukit di atas kuburannya, yang cukup simbolis dan menggugah,” ujarnya.

“Inilah perempuan yang hatinya berada di Highlands, tapi juga sangat mendalami Islam.”

Al-Toma setuju bahwa Lady Evelyn adalah contoh bagaimana para mualaf dapat tetap mempertahankan identitas dan budayanya.

“Dia adalah mualaf yang sangat penting di sini,” imbuhnya.

“Saya senang membaca bukunya dan melakukan perjalanan ini karena saya mengagumi keberaniannya dan jiwa petualangnya. Dia seorang perintis sejati.”

Jakarta, 20 Juli 2022.

Vien AM.

Diambil dari : https://www.bbc.com/indonesia/majalah-61809297

Read Full Post »

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam terkemuka yang banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia digelari Hujjatul Islam berkat kemampuan daya ingatnya yang luar biasa dan bijak dalam berhujjah/argumentasi.

Al-Ghazali dikenal sebagai ulama yang sangat kuat beribadah, wara’, zuhud dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan serta kemegahan. Dan itu semua ia lakukan demi mencari ridha Allah SWT.

Al-Ghazali banyak menulis buku dalam berbagai bidang seperti tasawuf, filsafat dan logika. Diantaranya yang paling menonjol adalah Ihya Ulumuddin yang berarti Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama. Kitab ini membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa (Tazkiyatun Nafs) yang membahas perihal penyakit hati, pengobatan dan bagaimana cara mengasahnya.

Patut diketahui ulama yang lahir di kota Tus, Khurasan pada 450 H/1059 M ini hidup pada masa kemunduran pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah yang memerintah sejak abad 8 di wilayah bekas kekuasaan Persia tersebut. Pada masa itu penyakit hati dan kemerosotan ahlak sedang menjangkiti banyak umat Islam. Dalam pemerintahanpun terjadi berbagai konflik internal yang berlangsung berkepanjangan  tiada henti.  

Al-Ghazali sendiri mengalami 2 fase kehidupan. Yang pertama adalah fase dimana ia sangat semangat menekuni ilmu hingga akhirnya mencapai puncak kesuksesan dengan diangkatnya sebagai penasehat kerajaan sekaligus pengajar di Perguruan Nizamiyah yang sangat bergengsi. Kehidupannya saat itu diliputi ketenaran dan kekayaan.

Sedangkan fase kedua adalah fase dimana ia mulai jenuh dengan segala kemewahan yang didapatnya. Al-Ghazali mengalami perubahan drastis dalam kehidupannya setelah mempelajari ilmu tasawuf. Ia meninggalkan seluruh kehidupan mewahnya dan mengembara demi mencari ketenangan dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Pada tahap inilah ia banyak menulis kitab termasuk kitab tasawuf Ihya Ulumuddin.

Dalam kitabnya tersebut, Al-Ghazali salah satunya mengutip perkataan Khalil bin Ahmad, seorang ulama ahli Bahasa dan sastra Arab  yang hidup pada abad 7, bahwa manusia terbagi atas 4 golongan berdasarkan tahu dan tidak tahunya seseorang.Yang pertama yaitu, Tahu dan Ia Tahu, 2.  Tahu tapi Ia Tidak Tahu, 3. Tidak Tahu tapi Ia Tahu, 4. Tidak Tahu dan Ia Tidak Tahu.

1.Tahu Ia Tahu.

Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu/berilmu, dan Tahu kalau ia Tahu). Yaitu seorang yang Tahu (berilmu), dan ia Tahu kalau dirinya Tahu (berilmu). Inilah yang disebut Al-‘Alim yang artinya adalah Mengetahui.

Al-‘Alim adalah golongan manusia terbaik. Manusia yang memiliki kemapanan ilmu dan ia tahu persis hal tersebut. Maka ia gunakan ilmunya semaksimal mungkin agar benar-benar bermanfaat tidak hanya bagi dirinya tapi juga orang sekitarnya, bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. ( Terjemah QS. Ali Imran (3):190-191)

Pada masa kejayaan Islam orang-orang seperti ini banyak jumlahnya. Salah satunya adalah Ibnu Sina, sang bapak kedokteran modern” yang ilmunya tidak lagi diragukan. Hebatnya ia mengawali ilmunya dengan banyak mempelajari ilmu ke-Islam-an. Bahkan pada usia 10 tahun ia telah menjadi penghafal Al-Qur’an. Pada masa itu ilmu memang belum terbagi-bagi dan terkotak-kotak seperti saat ini. Tak heran pada masa itu tak sedikit ilmuwan yang menguasai berbagai bidang ilmu sekaligus. Baik ilmu pengetahuan umum, sains maupun agama ( Islam).    

Orang seperti ini sudah seharusnya kita ikuti dan teladani. Apalagi bagi golongan awam yang masih butuh banyak ilmu. 

2. Tahu tapi Ia Tidak Tahu.

Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu).

Yang dimaksud dalam golongan ini adalah orang yang berilmu namun sayang ilmunya tidak sampai pada hakekat, yaitu tidak hingga mengenal Tuhan Yang Menciptakannya. Tidak jarang kita menemukan orang jenis ini. Al-Ghazali menyebutnya bagaikan orang yang tertidur.

Untuk itu adalah tugas kita untuk membangunkannya agar ilmunya berguna dunia maupun akhirat sebagaimana manusia golongan pertama. Karena pada dasarnya ilmu itu milik Allah swt dan dari Allah swt. Dengan bekal ilmunya itu seharusnya ia mengenal Sang Pemilik Ilmu.   

3. Tidak tahu tapi Tahu kalau Ia Tidak Tahu.

Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi tahu alias sadar diri bahwa ia tidak tahu).

Ini masih tergolong baik. Sebab meski tidak berilmu tapi menyadari kekurangannya hingga mau  memperbaiki dan berusaha untuk menuntut ilmu agar dapat mengejar ketertinggalannya. Maka dengan demikian tidak tertutup kemungkinan golongan ini naik menjadi golongan manusia tingkat pertama, yaitu Tahu dan Ia Tahu.

4. Tidak Tahu tapi Tidak Tahu kalau Tidak Tahu.

Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang Tidak Tahu (tidak berilmu), dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu).

Ini adalah golongan manusia terburuk. Al-Ghazali bahkan menyebutnya manusia dungu. Mereka adalah manusia yang merasa ber-ilmu, merasa tahu dan benar padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia seperti ini sulit disadarkan. Orang seperti ini tidak perlu diajak berdebat karena percuma hanya membuang waktu dan tenaga. Cukup kita doakan saja semoga Allah swt memberinya hidayah. Semoga Allah azza wa jala menjauhkan kita dari sifat-sifat buruk tersebut, aamiin yaa robbal ‘alaamiin.

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 12 Juli 2022.

Vien AM.

Read Full Post »