3. Lembut dan santun.
Dikisahkan, di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata, “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.
Hari demi hari pengemis Yahudi itu mencela Rasulullah. Kejadian itu terus berlangsung di pojok Pasar Madinah. Sebagai Nabi yang diberi wahyu, Rasulullah tentu tahu apa yang dilakukan pengemis Yahudi buta itu.
Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Saat Rasulullah menyuapinya, si pengemis Yahudi itu tetap berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW menyuapi pengemis Yahudi itu hingga menjelang beliau wafat.
Setelah kewafatan Rasulullah, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat Nabi, Abu Bakar RA berkunjung ke rumah putrinya Aisyah RA yang juga istri Rasulullah.
Beliau bertanya kepada putrinya, “Anakku, adakah sunnah kekasihku (Nabi Muhammad) yang belum aku kerjakan?”.
Aisyah menjawab ayahnya, “Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah Itu?”, tanya Abu Bakar.
“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “Siapakah kamu?“. Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa“.
“Bukan!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku, tangan ini tidak susah memegang dan mulut ini tidak susah untuk mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan itu dengan mulutnya. Setelah itu ia berikan padaku,” kata pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”.
Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar, ia pun menangis sedih dan kemudian berkata, “ Benarkah demikian? “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia”.
Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar.
4. Biasa Bermusyawarah dalam mengambil keputusan.
– Pada awal hijrahnya Rasulullah dan para sahabat dari Makkah ke Madinah di tahun 622 M, umat Islam belum mengenal apa yang kini dinamakan “adzan”. Ketika itu para sahabat berkumpul di masjid Nabawi di awal waktu tanpa adanya seruan khusus.
Hingga suatu hari di tahun ke 2 Hijriyah, Rasulullah saw meminta para sahabat agar memberikan masukan cara terbaik panggilan untuk shalat. Para sahabatpun berlomba memberikan usul dan pendapat. Ada yang mengusulkan meniup terompet, tetapi beliau membencinya karena itu tradisi Yahudi. Ada yang mengusulkan lonceng, tetapi beliau juga tidak menyukainya karena itu tradisi Nasrani.
Sementara itu seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid bin Tsa`labah bin Abdi Rabbih, saudara Balharits bin Al-Khazraj, bermimpi tentang suatu seruan. Iapun segera mendatangi Rasulullah saw untuk menceritakan mimpinya itu. Maka iapun menceritakannya.
Selesai sahabat tersebut menceritakan hal tersebut, Rasulullah saw bersabda:
“Sungguh ini adalah mimpi yang benar insya Allah, berdirilah engkau, ajarkan Bilal bacaan tersebut agar dia mengumandangkannya karena suaranya lebih merdu darimu“.
Ketika Bilal ra mengumandangkan adzan tersebut, Umar bin Khattab ra segera keluar dan menuju Rasulullah saw. Sambil menarik sarungnya, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, Demi yang mengutusmu dengan kebenaran! Sungguh aku telah bermimpi seperti yang ia ucapkan.“
Rasulullah saw bersabda:
“Segala puji hanya bagi Allah, ini semakin kuat” (HR. Tirmidzi no.189).
– Pada tahun 5 Hijriyah terjadi perang yang dikenal dengan nama perang Khandaq ( Ahzab) atau perang Parit. Perang ini terjadi oleh karena adanya hasutan beberapa pemimpin Yahudi bani Nadhir kepada Quraisy Mekah agar mereka bersama-sama menyerang Madinah dan menghancurkan Islam.
Orang-orang Yahudi ini berusaha meyakinkan bahwa ajaran Quraisy lebih baik dari pada ajaran Islam yang sialnya dipercaya oleh tokoh-tokoh Quraisy yang memang merasa dirugikan dengan ajaran Islam. Orang-orang Yahudi tersebut juga membujuk suku Gathafan, bani Fuzarah dan bani Murrah untuk bersengkokol memusuhi Islam. Maka berangkatlah sepuluh ribu pasukan Ahzab yang berarti pasukan gabungan tersebut menuju Madinah.
Di Madinah begitu mendengar kabar bahwa Madinah akan diserang, Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat untuk membicarakan strategi apa yang akan digunakan menghadapi pasukan tersebut.
Salman Al-Farisi, seorang sahabat asal Persia, mengusulkan strategi yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab. Strategi tersebut adalah dengan menggali parit sekeliling Madinah untuk melindungi kota dari serangan musuh.
Rasulullah menerima usulan tersebut meski ada sejumlah sahabat, dengan berbagai dalih, meragukannya. Diantaranya Salman bukan asli orang Arab, ia baru memeluk Islam pada periode Madinah dll. Namun Rasulullah menerima usulan tersebut tentu bukan tanpa dasar dan perhitungan. Pasukan musuh ketika itu tidak hanya lebih banyak, yaitu 3x lebih jumlah pasukan Muslimin. Peralatan perang mereka juga lebih lengkap dan pasukannya lebih terlatih. Dengan demikian strategi defensive (bertahan) pasti lebih baik dari strategi offensif (menyerang).
“Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah”. (HR at-Tirmidzi).
Dan ternyata benar. Pasukan sekutu pimpinan Abu Sufyan tiba di Madinah dan langsung terkejut ketika melihat parit yang mengelilingi kota tersebut. Pasukan yang mengandalkan kavaleri (prajurit berkuda) tersebut tidak bisa berbuat banyak menghadapi parit di hadapan mereka.
Meski Madinah di kepung selama 27 hari pasukan musuh tidak bisa menembus parit Madinah. Kekalahan tokoh Quraisy, Amr bin Wadd yang konon setara dengan 100 orang, melawan Ali bin Abi Thalib ra, membuat patah semangat pasukan Quraisy. Akhirnya pasukan sekutu tersebut kembali ke Mekkah dengan tangan hampa.
( Bersambung)
Leave a Reply