Sabtu, 17/11/2012, pukul 13.30 dengan menumpang kereta cepat Thalys Paris – Roterdam kami tiba di tujuan. Perjalanan yang mustinya hanya memakan waktu 2.5 jam itu sempat tertunda 1 jam dikarenakan adanya perbaikan rel kereta. Beruntung tujuan kami memang Roterdam karena stasiun-stasiun di sebelah utara kota terbesar no 2 di Belanda ini hampir semua mengalami gangguan. Tujuan Amsterdam misalnya, penumpang tujuan kota ini terpaksa harus turun di Roterdam dan melanjutkan perjalanan dengan alat transportasi lain.
Stasiun Roterdam sendiri ternyata sedang dalam taraf renovasi besar-besaran. Ke depannya stasiun ini akan terintegral antara stasiun kereta api antar kota maupun antar Negara, trem dan bus. Kami membeli tiket terusan tram dan bus, yang bisa digunakan keliling kota selama 2 hari dengan harga 11.5 euro. Setelah itu kamipun meninggalkan stasiun menuju hotel yang telah kami booking melalui internet booking beberapa hari yang lalu.
Syukur Alhamdulillah hotel tersebut sangat dekat dengan stasiun pusat tersebut. Meski sebelumnya kami sempat tersesat ke arah yang berlawanan dengan lokasi hotel, yaitu arah belakang stasiun. Namun ada untungnya, karena kami malah menemukan sebuah kedai kebab halal di tempat tersebut, meski tidak tertulis di depannya. Kedai ini terletak di depan parkiran sepeda, dimana ratusan bahkan mungkin ribuan sepeda, mulai sepeda bagus sampai sepeda butut dan super butut, tampak diparkiran ini. Sepeda di Belanda memang dikenal sebagai alat transportasi yang paling populer dan disukai warga.
Segera setelah cek-in hotel kami menuju halte yang ada tepat di seberang hotel, tujuan kami adalah masjid yang kabarnya terbesar di Belanda. Teman saya yang mengabarkan hal ini beberapa tahun yang lalu dan baru bisa kami kunjungi hari ini, Insya Allah. Sayangnya saya tidak mencatat nama masjid yang dimaksudkannya itu.
Ternyata Roterdam mempunyai masjid yang lumayan banyak. Uniknya masyarakat awam hanya menyebutnya masjid Turki atau masjid Maroko. Karena memang kedua kelompok Muslim asal Negara inilah yang mendominasi negri kincir angin ini. Maka dengan modal peta kota yang kami miliki dan banyak bertanya, kamipun akhirnya tiba di sebuah masjid Maroko. Itupun setelah kami bolak balik turun naik dan berganti trem. Ini untungnya membeli tiket terusan.
Namun saya yakin bahwa masjid ini yang bukan dimaksud teman saya. Sedikit catatan, ternyata di kota ini tidak terlalu mudah menemukan orang yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi tidak masalah, masjid dimanapun adalah rumah Allah apalagi bila masjid tersebut ada di Eropa, di Negara dimana Muslim adalah minoritas.
Dari luar, masjid yang cukup besar ini tidak terlihat seperti bangunan masjid pada umumnya. Tidak ada menara dan kubah yang cukup mencolok. Bila saja tidak tertulis kata Masjid dalam huruf Hijaiyah di salah satu dindingnya mungkin orang tidak akan menyangka bahwa bangunan tersebut adalah rumah ibadah kaum Muslimin. Saya sempat memperhatikan banyaknya perempuan berjilbab mondar mandir di sekitar lokasi. Bahkan sebuah tulisan besar “HALAL” terpampang di sebuah toko kelontong di seberang masjid.
Tanpa kesulitan suami memang bisa masuk dan shalat tahiyatul masjid. Sebaliknya saya, sebagai seorang perempuan sulit bahkan hanya untuk sekedar masuk ke dalam. Rupanya pintu masuk bagian laki-laki dan perempuan terpisah cukup jauh. Seorang jamaah laki-laki, dengan ditemani suami saya mengantar ke pintu kecil di salah satu sudut masjid. Tapi ternyata terkunci rapat, dan tak seorangpun tahu bagaimana caranya bisa masuk. Apa boleh buat, saya harus pasrah, puas hanya melihatnya.
Tak lama setelah suami selesai shalat, ketika kami sedang berdiri di depan masjid, memandang peta dan mencari posisi kami berada, seorang bule perempuan bersepeda tiba-tiba menawarkan bantuan.
“May I help you?”, tanyanya dari atas sepeda.
Pucuk dicinta ulam tiba. Kami segera menanyakan dimanakah letak masjid terbesar di Roterdam ini. Tanpa banyak bicara iapun menunjuk ke suatu arah, “ Do you see that tall tower in front of you?”, tanyanya balik.
“That’s what you are looking for”, katanya lagi sambil tersenyum meyakinkan.
Subhanallah … Bagaimana mungkin kami tadi tidak melihatnya. Segera setelah mengucapkan terima kasih kamipun segera menuju masjid bermenara jangkung itu. Menjelang magrib kami baru sampai di tujuan, karena meskipun kelihatannya dekat ternyata tetap memakan waktu, apalagi kami hanya berjalan kaki dan santai pula, sambil menikmati kota.
Alhamdulillah kami sempat shalat berjamaah, meski di bagian perempuan yang letaknya di lantai atas itu, saya hanya sendirian. Usai shalat saya sempatkan mengamati masjid cantik ini meski tidak besar. Ornament kaligrafi warna-warni khas masjid Turki mendominasi bagian dalam rumah ibadah ini.
Selesai itu sayapun turun dan mendapati suami sedang berbincang dengan beberapa jamaah. Suami saya memperkenalkan saya kepada mereka. Ternyata salah seorang dari mereka adalah seorang dosen tafsir dan hadist universitas Islam yang ada di kota ini, Subhanallah ..
Dari percakapan tersebut kami mengetahui bahwa ternyata bukan ini masjid yang kami cari. Masjid terbesar yang kami cari itu namanya masjid Essalam, masjid Maroko. Sementara masjid ini adalah masjid Turki, masjid Maulana, namanya. Kebetulan sekali salah seorang jamaah tersebut berniat pergi ke masjid Essalam.
Maka jadilah kamipun pergi ke masjid tersebut, bersama Muhammad, pemuda asal Turki yang mengadu nasib di negri ini. Dan lebih surprised lagi, pak dosenlah yang mengantar kami ke tempat tersebut. Yang dengan sangat menyesal mengatakan tidak dapat mengantar kami masuk karena ia sudah punya acara.
Beliau bahkan juga mengatakan sangat ingin mengantar kami mengunjungi universitas dimana ia mengajar, sayang itupun beliau tidak bisa. Untuk itu beliau segera menelpon beberapa kenalannya menanyakan siapa tahu ada yang bisa mengantar kami masuk. Tetapi tampaknya keberuntungan kami tidak sebanyak itu, karena tak satupun kenalannya menyanggupi. Namun tetap saja kami merasa sangat terharu dan tersanjung atas kebaikan dan perhatiannya yang begitu besar. Indahnya persaudaraan.
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR. Muslim).
Akhirnya tibalah kami di masjid yang dimaksud. Setelah mengucapkan banyak terima-kasih kamipun turun dari kendaraannya yang sarat buku-buku tebal itu. Ditemani Muhammad kamipun menerobos malam menuju masjid.
Awalnya heran juga kami mengapa menuju masjid terbesar koq jalannya lumayan sulit. Ternyata ini jalan potong. Di depan sebuah café remang-remang ia mengatakan bahwa café itu tempat anak-anak muda Roterdam mangkal untuk menikmati hashis.
Iseng saya bertanya : “But not our Muslims guys, I hope”.
Ternyata jawabannya diluar dugaan saya. Banyak anak-anak muda Muslim yang suka datang dan mengkonsumsi barang haram tersebut. Jadi shalat jalan minum dan ganjapun jalan. Astaghfirullah, alangkah menyedihkannya. Jangan-jangan ini pula yang menyebabkan orang Belanda tidak menaruh simpati kepada Islam … 😦
Ini yang terjadi terhadap masjid Essalam yang kini ada dihadapan kami. Lebih 7 tahun lamanya Muslim Roterdam harus menanti masjid ini terealisasi. Konstruksi masjid yang diharapkan mampu menampung 2600 jamaah ini telah dimulai sejak tahun 2000 hingga 2003. Namun pada tahun 2004 baru bisa mulai dibangun. Ironis, hingga kami berada disini, tahun 2012, masjid belum juga tuntas meski sudah bisa digunakan.
Kabarnya tinggi menara yang menjadi masalah bagi kelanjutan masjid ini. Masjid yang berdiri di sekitar pemukiman padat penduduk Muslim Maroko ini memang bertetangga dengan stadion bola terkenal di kota ini, Fijenoord. Menara kembarnya yang menjulang tinggi diatas kubah bertinggi 25 m inilah yang membuat risau warga asli Roterdam karena dianggap menyaingi stadion.
Lokasi masjid ini benar-benar strategis. Selain berdiri di tepi jalan raya, sejumlah jalur bus, trem dan kereta api juga melewati masjid ini. Pusat perbelanjaan juga terletak dekat. Belum lagi parkiran dan tamannya yang luas, yang pastinya nikmat untuk menampung shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha.
Barangkali ini yang menyebabkan , Geert Wilders, tokoh politik Belanda yang sering menyerang Islam dengan karikatur Rasulullah itu makin bertambah berang. Dalam akun twitternya ia berkomnentar sinis : “That horrible thing does not belong here but in Saudi Arabia.”
“ Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”.(QS.At-taubah(9):32).
Dan ini terbukti dengan tidak sedikitnya warga non Muslim yang menjadi tetangga masjid besar ini tidak menjadikannya masalah bahkan bangga akan keberadaannya.
“It is beautiful and to me it does not matter whether it’s a mosque or a church.”
( Bersambung ke : https://vienmuhadi.com/2013/07/16/bertandang-ke-masjid-terbesar-belanda-di-roterdam-2-tamat/ )