Delapan abad lamanya peradaban Islam pernah mengalami kejayaannya, puncaknya pada abad 8 hingga 13. Jejak peninggalan dalam berbagai bentuk seperti masjid, istana, museum, gedung perpustakaan, universitas, rumah sakit dll tersebar dimana-mana. Diantaranya di Andalusia (Spanyol), Baghdad (Irak), Fatimiyah (Mesir), Ottoman (Turki), Damaskus, Kufah, Syria, dan sebagainya.
Pada masa itu kemajuan di berbagai bidang, mulai dari seni, bangunan, perbintangan hingga ilmu pengetahuan seperti kedokteran, sains dll berkembang sangat pesat. Orang dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong datang ke pusat-pusat kota tersebut untuk menimba ilmu dan pengetahuan.
Tokoh-tokoh Islam yang hingga kini masih dikenang sejarah karena jasa-jasa besarnya antara lain adalah Al-Kindi (194-260 H/809-873 M), Al-Farabi (w 390 H/961 M), Ibnu Thufail (w 581 H), Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M) dll.
Ibnu Sina selain dikenal ahli filsafat, juga dikenal sebagai bapak kedokteran Islam. Ia banyak menulis karya kedokteran yang dijadikan referensi hingga hari ini. Demikian juga Ibnu Rusyd, seorang dokter yang banyak menulis dalam bidangnya, Al-Hawi adalah karyanya yang paling fenomenal.
Tokoh lainnya adalah Jabir bin Hayyan (w 161 H/778 M), Ar-Razi (251-313 H/809-873 M) seorang ahli matematika, Umar Al-Farukhan (arsitek pembangunan Kota Baghdad) dan Al-Khawarizmi (pengarang kitab Al-Jabar yang juga mengembangkan angka nol (0)).
Hari ini anak cucu kita bisa jadi tidak pernah mengira bahwa Islam pernah menjadi negara adidaya layaknya Amerika Serikat saat ini. Dan berasumsi sebuah negara akan maju bila kebutuhan dasar rakyatnya terpenuhi, yaitu kebutuhan primer seperti pangan (makanan), sandang ( pakaian) dan papan ( tempat tinggal). Menyusul kemudian rasa keadilan yaitu hukum yang adil bagi semua lapisan masyarakat, bukan yang tajam kebawah namun tumpul ke atas. Berikutnya adalah kebutuhan sekunder yaitu pendidikan, akses kesehatan, keamanan serta hiburan.
Orang Barat biasa menjadikan museum sebagai salah satu tujuan hiburan atau refreshing dari rutinitas sehari-hari mereka. Itu sebabnya museum biasanya ramai pengunjung bahkan menjadi salah satu penyumbang devisa negara. Mereka meyakini museum adalah konsumsi orang berperadaban tinggi.
Anehnya, tingkat stress dan bunuh diri di negara-negara yang notabene maju, aman dan nyaman tersebut ternyata tinggi, jauh lebih tinggi dari negara-negara Muslim yang hampir tak satupun masuk kategori negara maju. Contohnya adalah Korea Selatan, Jepang, Rusia, Amerika Serikat, Belgia, Finlandia dan Swedia yang berada di 50 negara paling tinggi tingkat bunuh diri ( Wikipedia 2015).
Dilansir dari New Europe, Rabu (31/10/2018), selalu ada satu petani yang bunuh diri setiap dua hari sekali di Prancis. Salah satu penyebabnya adalah kesepian karena semakin banyak anak-anak petani yang tidak lagi mau menjalani bisnis keluarga dan meninggalkan rumah mereka. Rata-rata jumlah bunuh diri di Prancis lebih tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya.
Pertanyaan besar .. Bukankah kehidupan aman, nyaman dan tentram adalah sebuah kehidupan yang dicita-citakan. Apa lagi yang kurang dan salah???
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Terjemah QS. An Nisa(4): 29-30).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Terjemah QS. Al-Isra'(17):31).
Islam jelas-jelas melarang bunuh diri apapun alasannya. Ganjarannyapun tak tanggung-tanggung, yaitu neraka. Untuk mengatasi stress Islam mengajarkan shalat. Dengan shalat hati menjadi tenang.
“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (Al-Baqarah : 153)
Rasulullah setiap dirundung kegelisahan, beliau selalu melaksanakan shalat, karena shalat benar-benar merupakan penyejuk hati dan sumber kebahagian. “Wahai, Bilal. Kumandangkan iqamah shalat. Buatlah kami tenang dengannya”. [Hadits hasan, Shahihu al Jami’ : 7892]
Shalat demi “menemui” Sang Khaliq adalah ibarat istirahat/refreshing pulang ke rumah untuk melepaskan penat, bertemu dan curhat kepada orang-orang yang kita cintai dan percayai.
Tak salah pada zaman kejayaan Islam masjid agung selalu berada di jantung kota, berdampingan dengan pusat pemerintahan dan alun-alun kota. Di dalam masjid inilah kaum Muslimin berkumpul untuk shalat dan saling mengingatkan kembali apa sebenarnya tujuan hidup berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist.
Oleh sebab itu Muslim sejati, yaitu yang shalatnya bukan karena terpaksa melainkan karena kebutuhan akan Tuhannya, tidak mungkin korupsi, mabuk-mabukan yang di Barat sudah menjadi kebiasaan, makan uang riba yang makin menjauhkan jurang si kaya dan si miskin, zina dan homoseksual yang jelas-jelas merusak moral, serta melakukan perbuatan-perbuatan buruk lain yang tidak hanya dibenci-Nya, tapi juga merugikan diri sendiri dan orang lain.
Uniknya, masjid bukan hanya tempat shalat saja, tapi juga merupakan tempat berkumpul para pujangga, ahli pikir, dan para sarjana untuk mendiskusikan berbagai topik ilmiah.
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Hamid Fahmy Zarkasyi, mengatakan, peradaban Islam adalah peradaban ilmu. ‘‘Substansi peradaban Islam itu ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, sedangkan dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit dan memberi rahmat bagi alam semesta. Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis,” ujarnya.
‘‘Lalu, berkembang menjadi tradisi pemahaman terhadap Al-Quran sehingga lahir intelektual Islam. Dari tradisi ini, kemudian terbentuklah komunitas sehingga melahirkan konsep keilmuan dan disiplin keilmuan Islam. Dari sini, lalu lahir sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan Islam,” terangnya.
Tak heran bila akhirnya kekuatan Islam yang bersendi pada Al-Quran dan Al-Hadits, ditambah ikatan persaudaraan Islam yang tinggi, mampu menaklukkan berbagai wilayah negara dan membentuk peradaban Islam yang mulia, mencakup dunia akhirat. Di mulai dari masa Rasulullah, kemudian diteruskan di masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa tabiin dan munculnya berbagai dinasti Islam di sejumlah negara, seperti Dinasti Abbasiyah, Umayyah, Fatimiyyah, Ottoman, Mamluk, dan sebagainya.
Saat ini kita bisa menyaksikan saudara-saudari kita yang terdzalimi di Palestina, Suriah dll. Mereka hidup di bawah penindasan Zionis Israel, listrik dan air dibatasi. Namun kita juga bisa menyaksikan betapa tingginya kesabaran mereka. Dalam salah satu laporannya, bang Oniem, seorang koresponden Indonesia di Palestina menceritakan kisah seorang penjaja makanan keliling di pelabuhan Gaza yang terlihat selalu menggenggam Al-Quran kemanapun ia pergi.
“Alhamdulillah ini harta paling berharga dalam hidup saya, saya tak bisa hidup tanpa Al-Qur’an akhi”, jelas anak muda yang hidup bersama istri dan 2 anaknya di rumah kontrakan tua tak jauh dari pelabuhan, tenang, seakan tidak punya masalah. Allahu Akbar …
Akhir kata, menyambut bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari ini semoga kita bisa introspeksi, memperbaiki kwalitas shalat kita agar shalat tersebut bisa benar-benar membuahkan Muslim sejati. Yang pada saatnya nanti mampu mengembalikan peradaban Islam yang saat ini telah luntur digerus peradaban Barat yang hanya berorientasi duniawi dan terbukti tidak mampu membawa kedamaian hakiki yang sejatinya fitrah bagi semua manusia.
Wallahu’alam bi shawwab.
Jakarta, 30 Maret 2021/ 16 Sya’ban 1442 H.
Vien AM.
Leave a Reply