“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…………” ( Al Baqarah (2:256))
Untuk menjadi seorang muslim, diwajibkan baginya untuk bersyahadat, yaitu dengan menyatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah. Dengan kata lain, iapun wajib mengakui dan mengimani bahwa sebagai utusan Allah beliau telah menerima wahyu (melalui malaikat Jibril). Itulah pintu gerbang masuk Islam. Dan sebagai konsekwensinya seorang muslim dituntut untuk menjalankan ajaran-ajaran Al-Quran dan hadis Rasulullah. Maka bila suatu ketika seorang yang mengaku muslim namun kemudian ia meragukan ke-otentisitas-an Al-Quran, dengan menyatakan bahwa Al-Quran bukanlah Kalamullah ataupun bila ia Kalamullah tetapi redaksinya Muhammad saw, masih dapatkah kita katakan bahwa ia seorang muslim? Bila yang menyatakan hal tersebut seorang orientalis mungkin kita masih dapat memakluminya, tetapi bagaimana bila hal itu keluar dari mulut seorang yang notabene tokoh Islam?
“ Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keraguan-raguan terhadap Al-Quran, hingga datang kepada mereka saat(kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat”.(Al Hajj (22:55)
Beberapa tahun belakangan ini muncul sebuah disiplin ilmu yang dimasukkan dalam kurikulum kampus berlabelkan Islam yaitu Hermeneutika. Ilmu ini sebetulnya bukanlah ilmu baru, terutama di negara-negara barat. Ilmu ini adalah teori yang mengajarkan bagaimana mengartikan atau menafsirkan suatu text atau pernyataan tertulis. Hal utama yang harus diperhatikan dalam Hermeneutika adalah latar belakang dan kepentingan si penulis, struktur bahasa dan hubungannya dengan keadaan sekarang. Seorang hermeneut, orang yang mendalami hermeneutika, diwajibkan untuk kritis dalam mempelajari sebuah text. Di barat, sudah sejak lama ilmu ini diterapkan untuk mempelajari text-text Injil. Itulah salah satu sebab mengapa Injil mengalami beberapa kali revisi. Dan hal tersebut resmi disetujui Vatikan.
Nah, saat ini sejumlah pemikir Islam yang telah mengecap dan memperdalam ilmu serta mengambil gelar doktoralnya di negara-negara barat, membawa ‘oleh-oleh’ ilmu Hermeneutika tersebut ke tanah air untuk diajarkan kepada para mahasiswanya di kampus-kampus Islam. Celakanya, ilmu tersebut digunakan untuk menafsirkan Al-quran! Padahal, sebagaimana dijelaskan diatas, untuk menerapkan ilmu tersebut, seseorang harus mengenal dan mengetahui cara berpikir si penulis. Sebaliknya, bukankah Al-Quran diturunkan kepada umat manusia agar dapat mengenal Sang Pencipta? Lebih jauh lagi, mereka bahkan meragukan ke-otentisitas-an Al-Quran dengan menyatakan keraguan atas niat Ustman bin Affan dalam membukukan mushaf Al-Quran yang mereka anggap sebagai kepentingan politik kubu beliau ketika itu. Tentu saja hal itu tidaklah masuk akal. Ustman bin Affan adalah salah satu sahabat nabi yang dijanjikan surga, ahlaknya begitu terpuji. Bila hal itu memang benar, tentunya kekuatan-kekuatan politik sepeninggal Ustman akan berusaha membuat mushaf baru. Nyatanya hingga saat ini,lebih dari 1400 tahun setelah Al-Quran dibukukan, tidak pernah ada perubahan secuilpun dalam Al-Quran. Janji Allah untuk memelihara Al-Quran akan ke-otentisitas-annya memang terbukti. Tidak ada satupun bacaan di dunia ini yang dihafal oleh jutaan manusia dengan ejaan dan lafal yang tidak berubah sebagaimana aslinya selama ribuan tahun.
“Apakah kamu tidak melihat kepada orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah? Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan? (Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al Kitab(Al Quran) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas kemudian mereka dibakar di dalam api (Al Mu’min (40:69-72))
Memang banyak ayat-ayat Al-Quran yang memerlukan penafsiran yang mendalam, yang mungkin dapat berkembang mengikuti zaman. Namun hal tersebut lebih disebabkan pemahaman atau pengetahuan yang waktu itu memang masih terbatas. Maka sebetulnya bukan Al-Quran yang mengikuti zaman, melainkan zamanlah yang akan membuktikan kebenaran Al-Quran apabila manusia mau belajar memahaminya atau menafsirkannya. Itulah sebetulnya tugas umat Islam, khususnya para cendekiawan muslim.
Patut dicermati latar belakang seorang Abu Zayd, seorang hermeneut yang menjadi guru besar di Leiden, Belanda dan banyak menjadi panutan para kelompok liberalis di Indonesia. Nasr Hamid Abu Zayd adalah intelektual asal Mesir. Ia menyelesaikan pendidikannya hingga S3 di Universitas Kairo,Mesir jurusan sastra Arab dan sempat mengabdi sebagai dosen di almamaternya. Pada tahun 1978, ia memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania,Amerika Serikat. Sekembalinya ia menulis sejumlah buku yang dianggap bermasalah oleh pemerintah Mesir. Kemudian pada tahun 1992 ia mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di Universitas Kairo namun ditolak. Ia dianggap tidak layak menjadi professor karena buku-buku yang ditulisnya banyak yang melecehkan ajaran Islam. Ia kemudian protes dan membawanya ke pengadilan, namun kalah. Bahkan di sejumlah mesjid-mesjid besar para khatib menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad. Merasa tidak lagi diterima di negerinya, maka ia dan keluarganya pergi menuju Spanyol kemudian menetap di Belanda. Ironisnya di Negara tersebut ia justru disambut sebagai pahlawan dan langsung ditawari kursi professor prestisius di universitas di Leiden. Demikian pula perguruan-perguruan tinggi di Berlin dan Amerika Serikat tidak mau ketinggalan menawarkan jabatan-jabatan penting di kampus-kampus mereka.
Namun yang lebih aneh,di Indonesiapun ia diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran. Maka demikianlah, saat ini para pengikutnya yang kebanyakan dari kalangan intelektual Islam, dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, mereka mencoba mengutak-ngatik ayat-ayat Al-Quran untuk disesuaikan dengan selera dan kepentingan duniawi. Mereka melontarkan ide-ide bahwa semua agama sama atau pluralisme,sekulerisme dan liberalisme. Hal ini sungguh mengkhawatirkan dan akan dapat memberikan kesan bahwa yang diperlukan seseorang cukup hanya mengimani adanya Sang Pencipta tanpa kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah dilakukan dan dicontohkan nabi kita Muhammad saw.
“Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibu-kota itu seorang. Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”. (Al Qasas(28:59).
Tidak cukupkah segala bencana alam yang menimpa negeri kita tercinta ini, sehingga kita harus menambah kerusakan-kerusakan moral seperti hal tersebut diatas?
Jakarta, 3/8/2006
Vien AM.
Sumber: Hegemoni Kristen-Barat ( dalam studi Islam di perguruan tinggi ) oleh Adian Husaini.
Assalaamualaikum.
Sangat bermenafaat sekali tulisan saudara di atas.
Wassalam
Alhamdulillah..terima kasih atas tanggapan yang membuat saya semakin semangat untuk berbagi, amin.
saya sangat berterima kasih semoga dpt bermamfat bagi semua orang
amin..semoga Allah swt meridhoi kita semua.
Tulisan ini benar2 membuka hati dan pikiran saya utk berhati2 dalam mempelajari agama islam,jgn smp tdk sesuai dg ajaran rasululloh saw
Alhamdulillah ..
Selama kita tetap mendahulukan Al-Quranul Karim dan Hadist Rasulullah, insya Allah kita akan dibimbing-Nya, dengan catatan jauhi nafsu.
Yang juga tak kalah penting, hati2 dengan penafsiran ayat dan hadits dengan akal dan pikiran manusia, karena pada tahap tertentu tidak akan pernah sampai … Apalah kita ini … bahkan dibanding semutpun tidak ada apa2nya .. Allahuakbar !