III. Masa Khulafaur Rasyidin.
Suatu ketika Rasulullah saw bersabda : “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemerintahan Islam) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya dari negeri Habasyah. Sesungguhnya barangsiapa hidup sesudahku niscaya dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu serta jauhilah oleh kalian perkara agama yang diada-adakan karena semua yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.”.( HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Dzahabi dan Hakim).
Kekhilafahan dibawah pimpinan sahabat terdekat dan terbaik Rasulullah, yaitu Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra dan Ali bin Abu Thalib adalah masa pemerintahan terbaik dan teradil setelah masa kenabian. Para pemimpin memberikan keteladanan sesuai syariah. Akhlak mereka sesuai tuntunan Rasullullah demikian pula hukum yang diterapkan. Sayang masa ini sangat singkat, yaitu hanya sekitar 30 tahunan.
Hal terpenting yang patut dicatat pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar adalah peristiwa dimana sebagian besar masyarakat murtad. Ada yang kembali kufur ada yang mengaku-ngaku sebagai nabi dan ada pula yang menolak membayar zakat. Mulanya sebagian sahabat menasehatinya agar tidak memerangi mereka. Namun dengan tegas Abu Bakar berkata : ” Demi Allah, andaikan mereka tidak mau menyerahkan tali unta yang mereka pernah serahkan kepada Rasulullah pasti aku akan berjihad melawan mereka”.
Maka berkat ketegasannya dalam menegakkan hukum inilah, Islam dapat berkembang pesat hingga kini. Padahal Abu Bakar dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut. Sebaliknya bagi Umar Bin Khattab. Sebelum menjadi khalifah orang mengenalnya sebagai pribadi yang kokoh dan keras. Namun pada peristiwa penaklukan Al-Quds di Palestina, Amirul Mukminin pertama ini justru memperlakukan penduduk kota yang sebagian besar adalah ahli kitab itu dengan penuh kelembutan. Tidak ada korban pada peristiwa tersebut. Bahkan kedalam tangannya sendiri, pendeta Kristen pimpinan kota tersebut menyerahkan kunci kota dengan penuh kedamaian. Sang Khalifah hanya menuntut agar mereka bersedia membayar jizyah sebagai jaminan kemanan mereka. Selanjutnya mereka bebas menjalankan ajaran agamanya tanpa harus sembunyi-sembunyi.
IV. Kekhilafahan Islamiyah dan para Diktator .
” Telah datang suatu masa kenabian atas kehendak Allah kemudian berakhir. Setelah itu akan datang masa Khilafah Rasyidah sesuai dengan jalan kenabian, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir. Lalu, akan datang masa kekuasaan yang terdapat di dalamnya banyak kezhaliman, atas kehendak Allah, kemudian berakhir pula. Lantas, akan datang zamannya para diktator (mulkan adludan), atas kehendak Allah, akan berakhir juga. Kemudian (terakhir), akan datang kembali masa Khilafah Rasyidah yang mengikuti jalan kenabian”. (HR. Imam Ahmad dan Al Bazzar)
Bila ditinjau dari sudut sains dan pengetahuan, masa kekhilafahan ( Umawiyah, Abbasiyah dan Ustmaniyah ) adalah masa keemasan Islam. Ilmu berkembang sangat pesat, ilmuwan bermunculan dimana-mana. Pembangunan berjalan begitu pesat. Tidak hanya masjid yang sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk menuntut ilmu namun juga madrasah sebagai lembaga pendidikan perguruan tinggi dan penelitian, pembangunan kota mengalami puncak keindahan dan kemegahan Islam. Pendek kata, Islam telah berada di masa kejayaan dan keemasannya pada segala bidang.
Ironisnya bersamaan dengan kemajuan tersebut, dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan yang berarti juga semakin menumpuknya kekayaan ( termasuk dari ghonimah / pampasan perang) akhlak sebagian para pemimpinnyapun semakin lama semakin buruk. Kebudayaan Barat mulai masuk dan merusak aqidah para pemimpin. Mereka mulai tidak menjalankan tugasnya sesuai amanah, hukum dan peraturan ditegakkan dengan kurang adil. Akibatnya masyarakat mulai hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Akhirnya jatuhlah kekhalifahan ke tangan barat dan masyarakat Islampun hidup bercerai berai tanpa hukum Islam yang adil.
Sejak itu bermunculan negara-negara kecil yang dipimpin para diktator yang mengaku dirinya Islam namun memimpin negaranya tanpa hukum Islam yang adil. Hak rakyat terdzalimi sementara korupsi meraja-lela. Para pemimpin ini bahkan tunduk kepada hukum Barat yang sekuler. Ironisnya lagi, dengan berbagai dalih dan alasan, ayat-ayat Al-Quran agar tidak memilih pemimpin dari golongan non Muslim malah diabaikan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Mereka lebih memilih hukum sekuler dan meninggalkan hukum serta peraturan Islam yang adil yang secara fitrahpun sebenarnya tidak memihak pada golongan tertentu. Inilah yang saat ini sedang terjadi dihadapan kita.
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. ( Terjemah QS. Al-Maidah (3):51).
V. Penutup.
Berdasarkan pengamatan sejumlah ulama, saat ini kita sedang berada di ujung masa kediktatoran yang dzalim dan sedang menuju ke masa peralihan antara zaman tersebut dengan masa menjelang kembalinya kekhilafahan yang mengikuti jalan kenabian. Wallahu’alam.
Namun kekhilafahan tidak harus sama persis dengan kekhilafahan zaman Khulafaur Rasyidin ataupun kekhilafahan sesudahnya. Keadaan dunia saat ini telah berubah banyak. Sebagian besar umat yang mengaku diri Islam sesungguhnya tidak lagi benar-benar menjunjung ajaran, hukum bahkan ruh Islam yang murni. Pemikiran dan ideologi barat yang telah jauh merasuk sejak jatuhnya kekhilafahan pada tahun 1923 masih melekat dalam hati sanubari dan pikiran umat.
Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit agar umat Islam mau kembali mempelajari hukum agamanya, agar umat ini bangga dan percaya diri akan hukum Islam yang adil sebagaimana dicontohkan Rasulullah pada periode Madinah 14 abad silam.
Saat ini perkembangan ke arah tersebut mulai terlihat. Jilbab dan busana Muslimah yang telah terbukti jelas dapat melindungi hak perempuan dari pelecehan seksual serta sebaliknya mampu membentengi lelaki dari godaan daya tarik perempuan, tampak mulai digunakan kembali oleh para Muslimah. Sementara bank syariah yang juga jelas berpotensi melindungi seluruh lapisan masyarakat dari kedzaliman mulai bermunculan dan masyarakat mulai pula meninggalkan bank konventional yang menerapkan sistim Riba yang diharamkan dalam hukum Islam.
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”( QS.Al-Baqarah(2):275).
Demikian pula dengan bermunculannya partai-partai Islam yang dengan berani menonjolkan ke-Islam-annya serta terbukti pula mulai mendapat dukungan masyarakat luas. Semoga dengan cara bertahap, hukum Islam yang terbukti adil dan tidak memihak akan melahirkan kembali kekhilafahan Islam yang diridhoi-Nya, amin. Karena hanya dengan cara inilah bumi dan isinya termasuk seluruh penduduknya akan mencapai kemakmuran dan kesejahteraan yang hakiki.
”…. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu( Al-Qur’an). Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)” (QS.Asy-Syura’(42):14-15)
Wallahu’alam bishawab.
Jakarta, Maret 2009
Vien AM.
Sumber :
1. Manhaj Dakwah Rasulullah oleh Prof. DR. Muhammad Amahzun.
2. Sejarah Islam oleh Ahmad Al-Usairy.
Leave a Reply