Pada suatu hari Minggu, kami pergi mengunjungi Pay Basque. Provinsi di ujung Barat Daya Perancis yang berbatasan dengan Spanyol dan teluk Gasconi di Samudra Atlantik ini ini terbagi menjadi 2, bagian utara milik Perancis dan bagian selatan dibawah kekuasaan Spanyol. Hendaye (Pay Basque Perancis ) dan Irrun ( Pay Basque Spanyol ) adalah dua kota berdampingan yang menjadi batas negara antara keduanya. Di Pay Basque yang dikuasai Spanyol sejak lama telah sering terjadi pembrontakan. Mereka ingin lepas dari kekuasaan pusat karena merasa berbeda dalam segala hal, baik budaya maupun bahasanya. Bahkan hanya dua hari setelah tulisan ini dibuat, sebuah bom kembali meledak di wilayah tersebut.
Tujuan pertama kami hari ini adalah La Rhune, puncak gunung terendah Pyrene ( 907 M). Jarak Pau dengan tempat ini tidak lebih dari 2 jam dengan kecepatan mobil rata-rata 120 km/jam. Pemandangan disini sungguh menakjubkan, saking dekatnya, laut dan pegunungannya seperti tak berjarak, . Pada musim dingin pegunungan yang dikenal dengan nama Pyrene ini menjadi tujuan kedua pecinta olah raga ski dunia setelah Alpen. Pegunungan Pyrene terdiri lebih dari 30 puncak gunung. Sebagian diantaranya memiliki ketinggian diatas 3000 m.
Untuk mencapai La Rhune, dari St Jean De Luz kami menumpang ‘petit train’, kereta api mini yang dirancang khusus untuk para turis yang ingin mengunjungi gunung tersebut. Tak sampai 30 menit kemudian kami telah sampai di puncak gunung. Dari ketinggian ini kita dapat melihat perbatasan Perancis – Spanyol dengan sangat jelas. Dari sini bila mau, kita dapat turun dengan berjalan kaki selama 2 jam sambil menghirup udara segar pegunungan.
Setelah puas menikmati keindahan panoramanya kamipun turun dengan menumpang kereta yang sama yang siap melayani wisatawan setiap 30 menit sekali. Selanjutnya kami menyusuri ’ La Corniche ’ , jalan yang menghubungkan kota-kota di sepanjang pantai teluk Gasconi dari St Jean De Luz hingga Hendaye. Pay Basque ditambah dengan kecantikan bangunan kayunya yang khas gaya Basque rupanya hampir setiap waktu ramai dikunjunjungi wisatawan manca Negara. Kota-kota yang kami lewati, sekalipun kota kecil, tampak teratur dan tidak semrawut walaupun kemacetan terjadi di sana sini. Tampak jelas bahwa ekonomi negri ini telah merata hingga ke seluruh pelosok. Dua abad terakhir ini Perancis atau Eropa secara umum memang telah jauh meninggalkan tehnologi dan peradaban Islam.
Namun dilihat dari segi peradaban, kesan tersebut segera hilang begitu kami memasuki pantai. Di tempat ini makhluk perempuan yang dalam pandangan Islam sangat dihormati, dengan teganya telah mempermalukan dan merendahkan diri mereka sendiri. Tidak cukup hanya dalam bikininya, diantara mereka ini bahkan dengan santainya berjalan-jalan di tepi pantai tanpa penutup dada ! Astaghfirulah…dalam hati saya berpikir apa bedanya mahluk terhormat yang diciptakan-Nya dengan sempurna ini dengan (ups.. maaf.. ) anjing yang mereka bawa?? Bahkan binatang kesayangan peliharaan rata-rata orang Perancis ini saja di beberapa tempat diharuskan memakai penutup….
Menjelang sore, di sebuah kota kecil kami mencari restoran untuk makan siang. Namun mungkin karena sudah lewat waktu makan, hanya sedikit resto yang masih buka. Disamping itu banyak resto dan juga toko yang memang tutup dari jam 14.00 hingga jam 16.00. Karena tidak banyak pilihan, kamipun masuk ke salah satu resto terdekat yang masih buka. Setelah memperhatikan menu, sekilas saya bertanya apakah menu ayam yang tersedia tidak bercampur dengan babi. Dengan spontan sang pelayan yang asli bule Perancis itu segera menjawab tentu saja tidak. Diluar dugaan ia malah menambahkan bahwa restonya menyediakan menu kebab yang pastinya halal. Jadilah kami memesan 2 kebab dan 2 menu sosis ayam . Namun ia segera menyela bahwa ia tidak yakin sosisnya tidak dicampur dengan daging babi. Terpaksa kamipun membatalkan pesanan sosis. Menu sosis diganti salad dengan ikan salmon untuk suami. Sementara saya sendiri kehilangan nafsu makan, jadi saya tidak memesan apapun.
Namun baru beberapa detik kami bernafas lega, anak muda tadi muncul lagi di hadapan kami. Kali ini dengan raut wajah menyesal ia berkata bahwa menurut bossnya isi kebab memang halal namun agar empuk rotinya diolah dengan bantuan minyak babi sebagai emulsi! Inna lillahi …..yaaahhh apa boleh buat, kebabpun batal. Akhirnya anak-anak terpaksa memesan baguette, roti panjang khas Perancis,namun isinya tetap daging kebab… Alhamdulillah bisa makan.
Namun yang membuat kami terheran-heran sekaligus kagum adalah sikap si pelayan tadi. Dengan besar hati dan sabar, tanpa takut kehilangan pelanggan, ia mau memberi tahu hal yang sebenarnya. Disini terlihat bahwa ia sangat menghargai tamunya yang dalam hal ini tidak mengkonsumsi daging babi. Ia bahkan tahu mana yang halal dan haram bagi kami. Hal yang sangat patut untuk dicontoh. Kami angkat topi untuknya.
Menjelang pukul 6 sore kami tiba di Biarritz. Ini adalah kunjungan ke dua kami ke kota pantai tersebut. Sejak kunjungan pertama 6 tahun yang lalu, anak-anak sudah meng- ‘claim’ bahwa kota ini adalah kota favorit mereka. Belakangan kami baru tahu ternyata Biarritz adalah termasuk salah satu kota favorit dunia yang sering menjadi tuan rumah kejuaraan surfing dunia.
Sebelum turun, kami terlebih dahulu melaksanakan shalat zuhur dan ashar berjamaah yang diqodho, didahului dengan tayamum. Shalat terpaksa dilaksanakan di dalam mobil. ( Ketika itu Zuhur sekitar pukul 14.00, Ashar 18.00, Magrib 21.50 dan Isya pukul 23.15). Kami memang hampir selalu melakukan shalat seperti ini ketika bepergian karena sulit menemukan Masjid. Untuk saya pribadi, pengalaman ini sungguh memberikan kesan yang sangat mendalam. Walaupun bisa jadi tidak semua orang setuju dengan shalat yang demikian.
Biarritz harus diakui memang sangat indah. Kota ini terletak di sebuah teluk yang melengkung dengan latar belakang pegunungan. Hotel-hotel tinggi berdiri berjejer di sepangjang pantai. Untuk menikmati keindahan pantai kita tidak harus turun dari kendaraan. Namun bila kita ingin menyusurinya dengan berjalan kaki tanpa kaki kita harus menjadi basahpun bisa. Jalan untuk pejalan kaki dibuat naik turun dan berkelok-kelok mengikuti garis pantai.
Di sebuah toko souvenir saya dan anak perempuan saya menyempatkan diri masuk dan melihat-lihat koleksinya . Namun tanpa disengaja anak saya menyenggol sebuah pajangan hingga mengalami sedikit kerusakan. Tanpa berkata sepatah katapun si penjaga segera menghampiri kami dan berusaha memperbaikinya. Anak saya merasa serba salah. Saya sendiri perlahan-lahan keluar sambil berpikir apa yang sebaiknya kami lakukan. Anak saya juga menyusul keluar.
Tetapi tak lama kemudian, merasa tidak nyaman, ia masuk lagi dan menanyakan apa yang harus dilakukannya. Dengan sopan si penjaga menjawab : ” Vous pouvez le remboursez ou bien se degager vite”, artinya kira-kira, dibeli atau mending buru-buru kabur aja! Olala…g enak bener jawabnya… Terpaksa anak saya akhirnya membeli pajangan tersebut walaupun dengan mengomel pelan bahwa mungkin saja barang tersebut sudah rusak sebelum ia menyenggolnya…” Masa’ kesenggol pelan begitu aja udah patah…”, begitu keluhnya…:-(..
Belakangan anak saya bercerita, sambil membungkus barang yang sedikit rusak tadi sipenjual berkomentar bahwa ibu kamu yang tadi berjilbab kan .? Aduuuh..untung anak saya segera memutuskan membeli barang tersebut, kalau tidak.. mau dikemanakan muka ini… Yah itulah resikonya, tampaknya tidak ringan mengenakan jilbab, nama Islam adalah taruhannya..Ya Allah semoga Kau berikan aku kekuatan untuk istiqomah, amin.
Pukul 10 malam, setelah puas menikmati keindahan terbenamnya matahari di pantai, kami meninggalkan Biarritz menuju rumah dengan membawa sejuta kenangan yang tak akan terlupakan. Alhamdulillahi robbil ’alamin, segala puji hanya bagi –Mu, Ya Allah .. begitu banyak tanda kekuasaan yang Kau berikan dan tunjukkan kepada manusia..semoga hidayah senantiasa menyertai para hamba yang pandai mensyukurinya, amin.
Pau- France, Agustus 2009.
Vien AM.