Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘Pau’

( Sambungan dari  Suka Duka Muslim di Perancis (3)).

Berdasarkan perkiraan kasar, dari total penduduk Perancis yang berjumlah sekitar 65 juta jiwa, sebanyak 5 juta atau 8 persen di antaranya adalah Muslim. Data ini tidak akurat karena sejak tahun 1992 negri ini tidak pernah lagi mengadakan angket untuk menghitung jumlah Muslim di negrinya. Kelihatannya mereka tidak berani menerima kenyataan bahwa Islam terus berkembang pesat di Perancis.

Ini terlihat jelas dengan banyaknya majalah yang membahas keberadaan Muslim di negri tersebut. Mulanya saya terkejut sekaligus senang mendapati sejumlah majalah dengan cover tentang Islam. Namun setelah dipelajari ternyata tidak semua berkomentar positif. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai ancaman! Muslim di negri produksi parfum terbesar di dunia ini memang tercatat sebagai yang terbesar di Eropa. Di Perancis sendiri agama Islam menempati posisi  ke dua setelah Kristen walaupun bedanya sangat jauh. Meskipun begitu tetap jauh diatas jumlah pemeluk Protestan dan Yahudi.

Mosque de Pau - France

Mosque de Pau - France

Namun demikian jumlah masjid yang ada di seluruh negri ini sangat jauh lebih sedikit dibanding pemeluknya. Begitu pula di Pau. Karena masjid hanya ada 1 maka umat Muslim terpaksa berdesak-desakan ketika harus melaksanakan shalat Jumat. Begitupun ketika shalat Ied. Karena pemerintah tidak memberi izin Muslim untuk melakukan kegiatan di lapangan terbuka sebagaimana yang diperintahkan maka umat terpaksa melaksanakannya di dalam masjid. Bila dilihat dari jumlah orang yang melaksanakan shalat Ied beberapa hari yang lalu, jumlah Muslim di Pau mungkin sekitar 1000-an.

Di dalam sejumlah masjid ini pula dari tahun ke tahun terutama di bulan Ramadhan,  sejumlah warga Perancis bersyahadat. Bahkan tahun ini dikabarkan sekitar 3.000 muslim Perancis merayakan Iedul Fitri dengan berumrah Ramadhan di Mekkah!

Mosque de Tarbes

Mosque de Tarbes

Ada pengalaman yang cukup menarik. Suatu hari di bulan Ramadhan kami pergi ke kota Tarbes, sekitar 1 jam perjalanan dari Pau bila melalui tol. Sebelumnya kami mendapat informasi bahwa di kota tersebut terdapat masjid yang lebih besar dari masjid di Pau. Singkat cerita kami shalat Magrib, Isya dan Tarawih setelah sebelumnya dipaksa pengurus  masjid agar berbuka ( dengan masakan Maroko yang menurut saya cukup lezat …nyamm..)  di  masjid Tarbes tersebut. Namun baru saja kami selesai mengucap salam, tiba-tiba seorang ibu setengah baya menghampiri, menyalami sembari mencium pipi kami berdua. Sebenarnya hal yang biasa saja.

 Yang tidak biasa adalah ketika ia bertanya apakah kami mengenal temannya seorang Indonesia yang menikah dengan seorang polisi Perancis. Nah.pertanyaannya, bagaimana ia  yakin bahwa  kami adalah orang Indonesia !. “ Dari busana yang dipakai anak perempuan kamu. Teman saya juga selalu memakai busana seperti itu ketika shalat “,  jawabnya.  Maksudnya mukena! Oo.. kami berduapun tertawa. Memang tidak ada di dunia ini muslimah yang memakai busana khusus ketika hendak shalat seperti mukena ini kecuali orang Indonesia , pikir saya geli.

 Dari pembicaraan tersebut akhirnya kami tahu ternyata ibu tadi adalah seorang Mualaf . Ia beserta suami, 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki2nya memeluk  Islam sejak beberapa tahun yang lalu. Allahuakbar…Ia menambahkan setiap  Ramadhan di kotanya hampir selalu ada saja orang  Perancis yang bersyahadat. Sekarang ketiga anak gadisnya bahkan mengenakkan jilbab. Saya komentar kepada anak perempuan saya “ Ternyata orang Perancis kalau memakai jilbab jadi mirip orang Arab de ya… cantik sekali ”. Begitu  pula kaum lelakinya, ketika mereka memanjangkan jenggotnya, sulit untuk membedakan bahwa mereka bukan orang  Arab.

 Di dalam bulan suci ini pula, tiba-tiba hampir di seluruh supermarket besar dan kecil di kota-kota Perancis dimana didalamnya terdapat Muslim, bermuncullan counter-counter daging halal. Yang juga mengejutkan di sekelilingnya berdiri pula  rak yang memuat Al-Quran lengkap dengan terjemahnya, hadis dan sejumlah buku tentang Rasulullah Muhammad saw dan  Islam. Dari sini tampak jelas bahwa kebutuhan beragama yang benar tidak mungkin dihambat apalagi dilarang.

 Suatu hari ketika sedang menunaikan shalat di masjid Pau, saya berbincang dengan beberapa remaja muslimah. Dari pembicaraan tersebut saya jadi tahu ternyata mereka menanggalkan jilbab hanya begitu memasuki area sekolah. Selebihnya seperti biasa kemana-mana mereka menutup auratnya dengan baik.…Subhanallah..     

 Cahaya Allah dan pertolongan-Nya makin terlihat benderang. Beberapa waktu lalu dikabarkan bahwa wali kota Creteil, kota yang terletak sebelah Tenggara Paris, setelah 15 tahun dinantikan, akhirnya memberikan izin pendirian masjid di kota tersebut. Creteil adalah kota berpenduduk Muslim terbanyak tidak saja di Perancis namun juga di Eropa , yaitu 20 % dari 88 ribu penduduknya. Maket yang disetujui tersebut dikabarkan bakal memiliki  81 buah menara serta  berdaya tampung 2500 jamaah ! Ini adalah  sebuah “ kebijakan pengecualian “ yang sangat menggembirakan. Hanya atas izin-Nya semua ini bisa terjadi. Allahuakbar …

Namun sebetulnya ini bukan satu-satunya “surprised” . Karena sejak tahun 2003 di Lille, sebuah kota beberapa  km Utara Paris, telah didirikan sebuah sekolah Islam setingkat SMA,  Lycée Averroès. Averroès adalah  nama seorang cendekiawan Arab Andalusia di abad 12, Abdul Walid Ibn Rousyid. Di sekolah ini sekitar 80 muslimah bebas mengenakan jilbab mereka tanpa sedikitpun rasa  khawatir diganggu.

Di Pau sendiri saat ini dapat kita temui sejumlah ‘ Boucherie Musulmane’ alias  toko daging halal dan banyak sekali restoran khusus “Kebab”, daging halal khas Timur Tengah dengan sangat mudah. Namun sungguh disayangkan kedai-kedai ini tetap menyuguhkan minuman keras dalam menu mereka. Tadinya saya pikir mungkin untuk memenuhi permintaan pengunjung. Karena banyak juga bule non Muslim yang menyukai hidangan ini. Selidik punya selidik, ternyata sejak ratusan tahun lalu, yaitu sejak masa Mudejar, Muslim Muallaf Spanyol yang memperkenalkan Islam ke Perancis, telah terbiasa meneruskan tradisi minum minuman keras  sekalipun  telah bersyahadat dan melaksanakan shalat! Sungguh patut disayangkan.

Padahal banyak diantara mualaf yang tertarik pada ajaran Islam justru karena adanya larangan mengkonsumsi minuman keras dan juga karena kewajiban muslimah menutup aurat dengan jilbabnya. Para perempuan mualaf  ini mengaku merasa muak dengan kebiasaan mereka di masa lalu yang suka mengumbar aurat dan nafsu seksual mereka tanpa batas dan aturan. Mereka yakin bahwa jilbab adalah bentuk rasa kasih sayang dan perhatian Sang Khalik terhadap hamba-hamba-Nya…. Alhamdulillah..

( Bersambung)

click here : https://vienmuhadi.com/2009/09/29/suka-duka-muslim-di-perancis-5/

 Wallahu’alam bi shawab.

 Pau – France, 21 September 2009.

Vien AM.

Read Full Post »

Pau adalah ibu kota salah satu propinsi/departemen di Perancis yang dinamakan  Pyrene Atlantik. Kota ini terletak di kaki pegunungan Pirenea yang menjadi batas negara Perancis di selatan dengan Spanyol. Di kota ini terdapat beberapa lokasi stasiun ski. Pirenea memang merupakan pegunungan ke 2 di Eropa setelah Alpen yang menjadi sasaran liburan warga Eropa baik ketika musim dingin untuk bermain ski maupun untuk berbagai jenis olah raga di musim panas.

jalanan di pusat kota

jalanan di pusat kota

Selain sebagai tempat singgah menuju Pirenea, Pau juga dikenal sebagai kota pelajar. Di kota ini berdiri Universite de Pau dimana tercatat sekitar 19000 mahasiswa menimba ilmu di dalamnya. Berkat penemuan sumber minyak dan gas pada tahun 1949 di Lacq, beberapa km utara Pau, saat ini berdiri sebuah lembaga penelitian dan pengembangan minyak dan gas yang terbesar di Perancis. Untuk kepentingan itulah secara berkala lembaga ini mendatangkan sejumlah tenaga ahli / expatriate dari berbagai negara  termasuk Indonesia.

Berkat letak geografisnya yang penuh tanjakan dan kelokan Pau juga dikenal oleh para penggemar olahraga sepeda. Bahkan sejak tahun 1930 kota ini telah ditunjuk menjadi salah satu tempat, etape dalam seri Tour de France, lomba balap sepeda paling terkenal di Perancis yang diikuti sejumlah negara  besar dunia. Namun jauh sebelum itu sebenarnya Pau secara rutin telah menjadi tuan rumah balap mobil yang terkenal hingga saat ini, yaitu Grand Prix Formula. Balapan ini pertama kali diselenggarkan di Pau pada tahun 1901.

Saat ini tercatat lebih dari 270 ribu orang menempati Pau. Warga menyebut diri mereka dengan sebutan Palois. Mereka sangat bangga dengan kotanya diantaranya  karena kota ini telah melahirkan 2 orang besar Perancis.

Yang pertama adalah Jean Baptiste Jules Bernadotte. Ia mengawali karir panjangnya sebagai tentara Perancis. Beberapa tahun kemudian oleh Napoleon I  ia diangkat menjadi Marshall / kepala polisi. Pengabdiannya untuk negara berakhir ketika ia menjadi raja Swedia dan Norwegia ! Kejadian langka ini terjadi pada tahun 1818. Uniknya, ia dipilih dan diangkat oleh rakyat Swedia dan Norwegia bukan karena hasil perebutan kekuasaan atau peperangan. Ia dipilih karena rakyat  menganggapnya sebagai diplomat sekaligus tentara yang adil, baik budi dan simpatik bahkan terhadap tawanan  yang waktu itu ditaklukannya. Disamping itu, raja Swedia ketika itu memang sedang putus asa karena kedua putra mahkotanya meninggal dalam usia sangat muda. Bernadotte yang di Swedia dikenal dengan nama Karl XIV Johan,  tetap menjadi raja hingga akhir hayatnya.

Chateau de Pau

Chateau de Pau

Yang kedua  adalah raja Henry IV. Ia dilahirkan di Chateau de Pau, sebuah kastil cantik yang semula adalah benteng yang dimaksudkan untuk melindungi kota dari serbuan musuh. Dari dalam benteng ini, Gave De Pau, sungai yang mengaliri kota, terlihat jelas. Benteng ini didirikan pada abad 11. Bila dilihat dari sejarah dan bentuk menaranya yang bergaya Mudejar, kelihatannya benteng ini adalah peninggalan Islam yang pada abad 7 hingga abad 14  pernah menguasai Spanyol dan Perancis bagian selatan.

Sebelum diangkat menjadi raja Perancis pada tahun 1598 – 1610, Henry IV adalah seorang raja Navarre, yang menguasai Aragon, Spanyol bagian utara. Ia adalah raja Perancis pertama yang menanda-tangani perjanjian kesepakatan toleransi antara pemeluk Katolik dan Protestan. Dibawah perjanjian inilah pemeluk Protestan akhirnya bebas menjalankan keyakinannya setelah sebelumnya dimusuhi dan dikucilkan. Meski untuk itu sang raja sendiri terpaksa harus berpindah keyakinan, dari Protestan menjadi Katolik. Ironisnya lagi, di akhir hayatnya ia juga harus meninggal di tangan seorang penganut fanatik salah satu pemeluk agama tersebut.

Seperti diketahui negri ini selama ratusan tahun ( sejak tahun 1562 – 1787 ) walaupun tidak secara terus menerus pernah dilanda krisis brutal perang antar kedua pemeluk agama yang memiliki akar yang sama yaitu, Kristen. Pembantaian pemeluk Protestan oleh pemeluk Katolik pada tahun 1572 yang ketika itu menjadi agama resmi kerajaan yang dikenal dengan nama Le Massacre de la Saint Barthelemy adalah contohnya.

Diperparah lagi dengan adanya campur tangan Inggris yang mendukung pemeluk Protestan dan Spanyol yang mendukung pemeluk Katolik, Perancis menjadi ajang pertempuran berdarah yang sungguh memilukan. Selama 200 tahun  walaupun telah berkali-kali ditanda-tangani kesepakatan toleransi antar keduanya, perang tetap tidak dapat dihentikan. Bahkan ketika di bawah raja Louis XIV pada tahun 1681, para penganut Protestan dibawah ancaman senjata dipaksa berpindah menganut Katolik.  Hasilnya, dalam  waktu 4 tahun pemeluk Protestan di negri tersebut hanya tinggal 15 % saja karena sebagian besar terpaksa melarikan diri dari negrinya sendiri ke berbagai negara tetangga bahkan hingga ke Amerika Utara dan Afrika Selatan. Di kemudian hari peristiwa ini dikenal dengan nama Dragonnade.

Sejak itu pula Perancis mengalami kemorosotan tidak saja moral namun juga ekonomi.  Karena sebagian besar pemeluk Protestan ketika itu adalah para pemegang perekonomian  yang dikenal handal. Akibatnya kelaparan merajalela dimana-mana sementara gereja dan keluarga kerajaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan di kediaman resmi raja Louis XVI dan permaisuri Marie Antoinette di istana Versailles makin sering diadakan pesta-pesta yang  menghamburkan banyak sekali uang. Ini  yang akhirnya memicu lahirnya Revolusi Perancis di tahun 1789 yang cenderung tidak menginginkan adanya pengaruh dan kekuasaan agama dalam pemerintahan. Ini pulalah awal lahirnya konsep Laicite atau Sekulerisasi. Menurut konsep ini kebebasan beragama dijamin namun tidak untuk diperlihatkan kepada umum. Pada dasarnya konsep ini berpegang bahwa agama adalah urusan pribadi.

Inilah yang menjadi pegangan  mengapa sejak Maret 2004 simbol-simbol agama termasuk jilbab dilarang di negri ini meskipun hanya sebatas didalam lingkungan gedung pemerintahan termasuk sekolah negri. Meskipun pada kenyataannya sekolah swastapun melarang penggunaan jilbab. Bahkan dikabarkan sejumlah politikus belakangan ini telah mengajukan permohonan agar pemakaian jilbab di tempat-tempat  umum seperti di jalanan juga dilarang!

Namun lucunya, ketika dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi di Kairo Juni 2009 lalu, Barrack Obama,  Presiden Amerika Serikat, menyarankan bahwa sebaiknya Barat tidak perlu terlalu khawatir terhadap keberadaan Muslim, termasuk tidak perlu ikut mengatur busana apa yang pantas dikenakan seorang Muslimah, Sarkozy segera bereaksi bahwa negri  yang dipimpinnya  itu memberi kebebasan warganya untuk berbusana apa saja. “ Perancis adalah Negara Demokrasi , seorang Muslimah tidak dilarang memakai jilbab selama bukan karena dipaksa” , begitu tambahnya. Namun dengan catatan bahwa prinsip negrinya  adalah ‘Laicite’. Maksudnya …??

 Tiba-tiba saya teringat ketika beberapa  tahun yang lalu saya menyaksikan acara televisi Perancis  tentang pengakuan seorang perempuan Afganistan dan Iran yang menceritakan bahwa perempuan di negrinya akan ditangkap pihak penguasa bila ketahuan berjalan-jalan ditempat umum tanpa memakai  Burqa ataupun Jilbab. Saya terkesiap..Rupanya para perempuan  tersebut menutup aurat mereka karena terpaksa bukan karena keyakinannya… Astaghfirullah..

Saat itu kedua perempuan tersebut tampil di layar televisi  tanpa menutup auratnya. Mereka telah merubah penampilan layaknya perempuan Barat. Namun foto mereka ketika masih memakai Burqa dan Jilbal tentu saja tidak lupa  ditampilkan.

Ya Allah, Ya Robbi …bila yang bersangkutan  saja merasa seperti itu dan kemudian bahkan  membuat pernyataan terbuka di hadapan non Muslim yang notabene memang tidak menyukai ajaran Islam, apa yang dapat kita katakan …Benar-benar memalukan  …..

 ( Bersambung ke Suka Duka Muslim di Perancis (4))

click here : https://vienmuhadi.com/2009/09/22/suka-duka-muslim-di-perancis-4/

Pau-France, 21 September 2009.

Vien AM.

Read Full Post »

20 Juli 2009 pukul 19.30 WIB, kami berempat telah  berada di dalam sebuah pesawat menuju Paris,  Perancis.  Di dalam pesawat ini kami  melaksanakan shalat magrib dan Isya dengan di-jama’. Wudhu’ terpaksa kami lakukan secara tayamum karena air sangat terbatas. Penerbangan yang membutuhkan  waktu  kurang lebih 17 jam termasuk transit di Singapore ini sebagian besar adalah pada malam hari. Pesawat seakan berjalan di tempat tak mampu ‘ mengejar’ matahari.

Akibatnya kami kesulitan menentukan waktu  subuh. Sebaliknya bila mau kita mempunyai kesempatan yang  sangat banyak untuk bertahajud sembari  duduk menikmati kegelapan  di dalam benda  yang terbang tinggi mengarungi  samudra langit  luas nan gulita dan  sesekali merasakan guncangan  ketika pesawat  harus menembus awan tebal. Sebuah keheningan  menakjubkan  yang membuat diri terasa  teramat kecil  dan tak berarti. Akhirnya  pesawatpun mendarat dengan selamat di Charles de Gaule Airport Paris, Perancis pada pukul 6.20 waktu Paris atau pukul 10.20 WIB. Alhamdulillah.

Beberapa jam kemudian setelah mendapat taxi dan menitipkan  koper di hotel, dengan menumpang metro kami pun tiba di pelataran Arc de Triomphe. Dari sini kami menyusuri Champs Elysee, salah satu  boulevard  paling terkenal di dunia yang setiap  hari selalu dipenuhi turis mancanegara. Kunjungan ke kota Paris kali ini sebenarnya  sebuah napak tilas. Tepat  sembilan  tahun yang lalu, kami berada di tempat ini. Bedanya   ketika itu kami berlima. Saat ini si sulung tidak bisa ikut bergabung karena sibuk dengan  pendaftaran program S2 di UI Jakarta. Dan lagi, dulu ayahnya anak-anak mendapat pos di Paris sedangkan kali  ini di Pau, sebuah kota di dekat perbatasan Perancis-Spanyol di kaki gunung Pyrene,  sekitar 800 km selatan Paris.  Seperti ketika di Paris, kali ini kami juga akan menetap di Pau selama 3 tahun.

Di sebuah kedai  roti yang menyediakan meja kursi di trotoir kami beristirahat sebentar,  menyantap baguette ; roti besar khas Perancis,  sambil menikmati keramaian di sekitarnya. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Place de La Concorde hingga kelelahan dan kembali ke hotel.

Esok sorenya  setelah mengunjungi  menara Eiffel , gedung pertunjukkan Opera yang cantik, Place de Tokyo; pelataran dimana si tengah dulu sering bermain papan seluncur, Sacre Coeur, gereja tua yang anggun di atas bukit yang merupakan tempat favorit si bungsu, kamipun pergi ke La Defense yang terkenal  dengan Grand  Arche-nya itu. Kami menutup perjalanan napak tilas sore itu dengan mampir ke Neuilly sur Seine, quartier elit dimana Sarkozy, presiden Perancis saat ini, dulu pernah menjadi  walikota. Di daerah inilah dulu kami tinggal.

Saya bersama si bungsu sedang duduk-duduk di taman  ketika seorang laki-laki setengah baya  ikut duduk di bangku di sebelah kami.  Setelah sedikit berbasa-basi, tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan tak terduga. Ia bertanya mengapa saya menutup rambut dan dada saya. Tentu saja dengan senang hati saya jawab bahwa agama saya yang memerintahkannya. Namun kemudian tanggapannya sungguh di luar dugaan. Ia berkata bagaimana mungkin orang zaman sekarang masih juga mempercayai kitab yang ditulis 14 abad yang lalu!  … Haaah?!?..kaget saya dibuatnya..

Apa boleh buat perdebatan ringanpun tak mungkin dihindari. Terus terang bahkan dalam bahasa ibupun bukan hal mudah untuk mempertahankan dan menerangkan  ajaran Islam. Apalagi dalam bahasa asing, dalam hal ini bahasa Perancis. Beruntung suami dan anak lelaki saya  kemudian juga ikut dalam perdebatan tersebut.  Namun ketika akhirnya saya bertanya apakah ia percaya pada kehidupan setelah mati dan jawabannya ‘ Non’, maka kami memutuskan untuk menghentikan perdebatan…Percuma.. Saya katakan  padanya : “ Oh, le pauvre..la  vie  n’est pas si simple , monsieur” ; hidup tidak sesederhana itu. Kemudian kami tinggalkan pria tersebut dalam keadaan tertegun-tegun. Alangkah malangnya, rupanya ia salah seorang diantara banyak orang Perancis yang atheis

Malam harinya, setelah sore itu kami pulang ke hotel dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan, ditemani si tengah suami,  pergi ke kedai kebab milik orang Turki yang terletak tidak berapa jauh dari hotel.  Mengetahui bahwa mereka berdua dari Indonesia dan muslim, mereka disambut dengan anthusias oleh si pemilik kedai. Sambil menunggu kebab siap dibawa pulang, keduanya diperkenalkan kepada para langganan yang sedang makan di tempat tersebut. Suasana akrab  menyelimuti mereka. Setelah berbasa basi mereka menanyakan tentang bom yang baru-baru ini meledak di Jakarta. Percakapan melebar hingga ke pertayaan mengapa Uztad Baasyir tidak juga dibebaskan dan  mengapa pula di Aceh yang katanya menerapkan syariah Islam tapi klub malam masih juga banyak bertebaran. ( ?1??)..apa ya jawabnya…

Percakapan berakhir ketika kebab siap. Si pemilik bermaksud memberikan potongan harga sementara  si pembeli berniat membayar lebih! Ikatan persaudaraan muslim terasa  sekali ditempat yang bermil-mil jauhnya  dari negri sendiri ini. Subhanallah…

Kunjungan ke Paris selama 3 hari tidak terasa usai sudah. Kami harus segera menuju Pau, besok suami sudah harus mulai bekerja kembali. Dengan mengendarai taxi kami menuju airport Orly, Paris. Didalam taxi inilah kami mengobrol dengan si sopir. Mungkin karena  saya memakai jilbab, sopir tersebut tanpa ditanya memperkenalkan dirinya  bahwa ia seorang Muslim. Walaupun ia lahir dan besar di Paris ia mengaku darah Aljazair dari kedua orang-tuanya tetap kental mengalir didalam tubuhnya. Dengan bangga ia menambahkan bahwa istrinya yang asli Perancis juga seorang Muslimah.Alhamdulilah…

Hari Jumat. Beberapa hari setelah kami tiba di Pau, suami mengajak saya dan kedua anak kami untuk shalat jumat di satu-satunya masjid di Pau. Masjid terletak di kawasan perumahan . Walaupun tidak terlalu besar tapi masjid terlihat bersih dan terawat. Ketika kami sampai disana khutbah baru saja dimulai. Sayangnya  khutbah diberikan dalam bahasa Arab(*). Saya perhatikan sebagian jamaah memang keturunan Arab.

Masjid Pau - France

Masjid Pau – France

Bagian perempuan  terletak di lantai atas. Khutbah disiarkan melalui layar tv yang dipasang di ruang ini. Kedatangan kami berdua, saya dan si bungsu,  rupanya cukup menarik perhatian. Selain karena jumlah jamaah yang tidak begitu banyak ( sekitar 50 an jamaah perempuan) hingga mereka hafal dan satu sama lain saling kenal  mungkin wajah kami juga asing bagi mereka. Beberapa diantara mereka melempar senyum ramah kepada kami. Suasana di dalam masjid hening. Kami perhatikan setiap kali penceramah bershalawat, jamaahpun ikut bershalawat dengan khidmat.

Shalat dilaksanakan setelah khutbah selesai. Imam membaca bacaan shalat dengan logat yang sangat kental  Arabnya  hingga saya merasa seperti di Mekah atau di Madinah saja. Hmm..sungguh syahdu. Usai  shalat, imam membacakan  syahadat beberapa kali dan diikuti seseorang. Rupanya siang  itu ada bule yang berikrar masuk Islam,  Allahuakbar!

Tak lama kemudian, sebelum bubar, tanpa kami duga seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan  menghampiri  kami  dan langsung mencium kedua pipi kami. Ia mengaku senang melihat kami berdua shalat di masjid tersebut. Perempuan berhidung mancung yang mengenakan abaya hitam itu berdarah Aljazair. Ia lahir dan besar di Perancis. Ia juga berbicara Perancis dengan fasih. Setelah sedikit berbasa-basi ia menanyakan apakah jumat depan kami akan kembali datang. Insya Allah..

( Bersambung)

(*) Pada kedatangan shalat Jumat berikutnya, kami baru menyadari ternyata khutbah yang kami dengar ketika itu adalah khutbah kedua. Khutbah pertama  dalam bahasa Perancis, Alhamdulillah..

Pau – France, 31 Juli 2009.

Vien AM.

Read Full Post »