Syahdan, Jum’at (18/3/2005), adalah hari ‘bersejarah’ bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Setelah kurang lebih 14 abad lamanya, semenjak Islam lahir, baru kali ini ada seorang perempuan tampil menjadi khatib, sekaligus imam shalat jum’at! Peristiwa langka ini terjadi di Amerika Serikat. Perempuan yang memancing berita kontroversial itu bernama Amina Wadud. Dia adalah seorang profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University, AS. Bertempat di sebuah bangunan gereja Anglikan di New York, karena sejumlah masjid di negara tersebut menyatakan penolakan terhadap diadakannya shalat jum’at yang dipimpin seorang perempuan, Wadud memimpin sekitar 100 jamaah laki-laki dan perempuan yang dikabarkan bercampur dalam shaf yang sama dimana sebagian jamaah perempuannya juga dikabarkan tanpa menutup kepala mereka sebagaimana lazimnya muslimah shalat.
Ada apakah ini? Lupakah kita bahwa dalam urusan ibadah ritual / syariat, kita ( baik lelaki maupun perempuan) harus tunduk tanpa syarat pada apa yang diperintahkan-Nya dalam Al-Qur’an dan Hadis? Tidak cukupkah perintah Allah SWT yang mengatur masalah duniawi, yang menyangkut hubungan sosial / mu’amalah, kita boleh berlomba-lomba untuk terus berkarya, dan berkreasi? Tidakkah kita dapati bahwa hal tersebut sungguh amat bijak dan sangat sarat dengan nuansa perikemanusiaan? Allah tidak menghendaki hambanya menanggung beban berat dalam hal ibadah, apalagi sampai menyusahkan diri sendiri dalam hal-hal yang sudah jelas digariskan-Nya. Masih dirasa kurangkah tanggung jawab perempuan hingga harus melibatkan dengan hal yang bukan menjadi tanggungannya? Rasulullah memang pernah mengizinkan seorang muslimah yang ahli ibadah, Umm Waraqah menjadi imam shalat fardhu dalam keluarganya yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Namun lelaki yang dimaksud dalam keluarga tersebut adalah seorang lelaki tua, yang kemungkinan telah tidak memiliki tenaga dan ilmu yang cukup untuk mengimami keluarganya. Ini adalah sebuah pengecualian. Disamping itu, Umm Waraqah memang dikenal sebagai salah seorang pengumpul/penghafal Al-Quran yang sangat sholehah.
Islam dengan jelas menerangkan bahwa lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Ini adalah ketentuan Allah swt. Oleh karena itulah secara umum Ia menciptakan fisik lelaki lebih kuat dan perkasa daripada perempuan. Sebenarnya secara naluripun orang yang berakal pasti faham bahwa dalam suatu sistim (apapun) tidak mungkin ada dua orang pemimpin. Karena keberadaan 2 orang pimpinan akan melahirkan ketidak teraturan bahkan pertentangan. Namun ini bukan berarti bahwa Allah lebih menyayangi kaum lelaki daripada kaum perempuan. Bukan pula berarti bahwa lelaki lebih terhormat daripada perempuan. Sebaliknya ini justru tugas dan beban bagi lelaki.
Masyarakat Arab sebelum Islam datang 1400 tahun silam, terbiasa mengubur bayi perempuan yang baru dilahirkan ibunya. Hal ini mereka lakukan karena di benak mereka telah tertanam kuat pemikiran bahwa memiliki anak perempuan adalah hina. Melahirkan bayi perempuan adalah hal memalukan, suatu hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat keluarga. Dalam pikiran mereka, hanya dengan memiliki anak lelaki sajalah martabat dapat diwariskan. Kebiasaan mereka menjelang kelahiran, istri diajak ke tempat terpencil dan sunyi. Dan bila ternyata yang lahir adalah bayi perempuan, si suami dengan segera melemparkan dan menguburkan bayi tersebut hidup-hidup kedalam lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu! Namun begitu Islam datang, perbuatan tersebut dikutuk dan dilarang.
” apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh,”(QS.At-Takwir(81):8-9)
Ironisnya, berabad-abad kemudian perempuan Eropa pada abad pertengahan masih juga berkubang dalam kegelapan dan keterbelakangan. Ketika itu bahkan pihak gerejapun pernah mempertanyakan hakikat perempuan. Mereka mempertanyakan apakah perempuan itu termasuk mahluk?? Perlukah orang berbuat baik terhadap mereka? Perempuan dianggap sesuatu yang menyesatkan dan harus disingkirkan. Mereka dimasukkan kedalam kategori syaitan.
Jean d’Arch adalah salah satu contoh perempuan muda Eropa yang mengalami tuduhan tersebut. Dengan menyamar sebagai seorang pemuda, gadis Perancis berusia 17 tahun ini berhasil memimpin pasukan negri tersebut dari cengkeraman Inggris. Menurut kabar, gadis ini adalah seorang yang taat akan agamanya. Namun hanya karena ia adalah perempuan, kerajaan dan gereja menuduh Jean sebagai tukang tenung hingga akhirnya ia harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup. Ini terjadi pada tahun 1431 M.
Ada pula suatu masa dimana perempuan hanya dianggap sebagai pemuas nafsu lelaki. Perempuan bebas dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan seks lelaki. Bahkan Sigmund Freud, pendiri aliran Psikoanalisa, seorang dokter syaraf Yahudi berkebangsaan Austria yang hidup di awal tahun 1900an mengambil kesimpulan bahwa nafsu seksual tidak boleh dihalangi karena akan menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Nafsu ini harus disalurkan dan ironisnya perempuan-perempuan ini digauli tanpa ada kewajiban harus dinikahi terlebih dahulu. Berbagai pesta yang sering kali diadakan oleh pihak penguasa selalu melibatkan sejumlah perempuan sebagai penghibur laki-laki.
Sebenarnya ini adalah dampak dari vonis gereja masa lalu yang mengumumkan bahwa perempuan adalah mahluk jahat yang harus dijauhi dan disingkirkan. Akibatnya kaum lelakipun harus kehilangan pasangan, teman dan tempat dimana ia dapat berbagi termasuk dalam hal penyaluran seksual sebagai fitrah manusia.
Fenomena ini masih terlihat hingga detik ini. Sayangnya, sebagian perempuan tidak menyadari bahwa sesungguhya mereka sedang dimanfaatkan. Dengan dalih kebebasan dan persamaan hak, mereka dicekoki pemikiran bahwa permainan tersebut tidak hanya menyenangkan dan menguntungkan kaum lelaki namun juga kaum perempuannya. Padahal kenyataannya kaum perempuanlah yang menderita. Merekalah yang harus menanggung resiko kehamilan, melahirkan, membesarkan dan menanggung beban hidup bayi yang dilahirkannya, yang tentunya jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi berbagai penyakit yang mengancam hidup mereka seperti AIDS, berbagai penyakit kelamin dan sebagainya.
Lebih celakanya lagi, masih menurut teori Freud, bayi memilki insting cemburu terhadap orang-tuanya. Bila bayi itu laki-laki, ia menginginkan kedudukan ayahnya agar ia dapat memiliki ibunya secara ’lahir-batin’ sebaliknya bila bayi itu perempuan, ia menginginkan kedudukan sang ibu agar ia dapat memiliki ayahnya secara ’lahir-batin’. Inilah yang disebutnya Oedipus Complex. Pemikiran ini sesungguhnya diinspirasi oleh mitos Yunani kuno, yaitu Oedipus, seorang raja Yunani yang demi keinginan menikahi sang ibu, Jocasta, ia tega membunuh ayah kandungnya sendiri. Ini adalah sebuah pembenaran dari sebuah penyimpangan. Tampaknya sial betul nasib perempuan sebagai ibu!
Tidak demikian dengan Islam. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan betapa Islam begitu menghargai dan mengagungkan perempuan, apalagi kaum ibu. Bahkan pada khutbah hari Arafah, hari-hari akhir kehidupan Rasulullah, beliau dengan serius mengingatkan bahwa umat Islam, khususnya kaum lelaki harus memperhatikan kedudukan, kehormatan dan hak kaum perempuan.
Berikut petikan khutbah beliau : ”……… Takutlah pada Allah dalam memperlakukan kaum perempuan karena kalian mengambil mereka sebagai amanat Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah…….”.
Dalam hadisnya, Rasululah menegaskan bahwa kaum ibu memiliki hak 3 tingkatan lebih tinggi dibanding kaum bapak. Karena ibu telah mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Sesuatu yang mustahil dapat dilakukan kaum lelaki. Dari Bahaz bin Hakim dari ayahnya dari neneknya ra, ia berkata, aku bertanya : “ Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus baik?”. Beliau bersabda: ”Ibumu”. Aku bertanya lagi: ”Kemudian siapa?. Beliau bersabda: ”Ibumu”. Aku bertanya lagi :”Kemudian siapa?”. Beliau bersabda: ”Ibumu”. Aku bertanya lagi : ”Kemudian siapa?”.Beliau bersabda : “ Ayahmu, kemudian yang lebih dekat”. (HR Abu Dawud dan Tarmidzi).
“Dan telah Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu,hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS. Luqman( 31):14)
Ali bin Abu Thalib ra adalah salah satu sahabat yang tidak suka ketika seseorang tidak menghargai perempuan, apalagi bila orang itu adalah istrinya sendiri. Suatu hari, ia berpapasan dengan seorang perempuan berjalan gontai kesana kemari seakan sedang mencari seseorang. Ali kemudian menegurnya, ”Siapa yang sedang anda cari ?”. ”Aku mencari seorang laki-laki yang dapat melindungiku dari ancaman suamiku ”, jawabnya dengan suara bergetar. ” Ia telah berulang kali menampar dan memukulku ”, tambahnya memberi alasan. ” Sungguh terkutuk ! Antar aku ke rumahmu! ” seru menantu Rasulullah itu.
Setelah melewati beberapa lorong sempit, akhirnya tibalah keduanya didepan sebuah rumah. Ali segera mengetuk pintu rumah tersebut sementara perempuan tadi terlihat ingin menyembunyikan diri dibalik Ali. Tak lama kemudian pintu terbuka dan muncul seorang lelaki berwajah kasar, berperawakan kekar di depan pintu. Dengan tenang namun tegas Ali bertanya ” Engkaukah lelaki yang suka menganiaya istrimu padahal setiap malam kau rasakan kehangatan tubuhnya ?” ” Apa urusanmu dengan istriku ?” seru lelaki itu geram. Rupanya ia tidak mengenali wajah sahabat Rasulullah itu. ” Tidak perlu engkau banyak bertanya, rasakanlah balasan ini ! ”, seru Ali sambil mengayunklan gagang pedangnya . Seketika jatuhlah tubuh kekar tersebut. ” Demi Allah, jika kau masih mengulangi lagi perbuatan busuk itu, aku tebas batang lehermu!” tambah Ali. Dengan sempoyongan lelaki tadi berusaha berdiri. Perlahan ia mengenali wajah lelaki di hadapannya, Ali bin Thalib! Karena malu dan takut, akhirnya lelaki tersebut mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan lagi berlaku sewenang-wenang terhadap istrinya.
Keluarga adalah satuan terkecil dalam masyarakat. Dari rumah tangga yang seperti ini pulalah akan lahir anak-anak yang akan menambah kebahagiaan dan keceriaan sebuah keluarga. Islam mengajarkan hubungan yang sangat baik antara ayah, ibu dan anak. Islam mengajarkan betapa pentingnya menyayangi anak dan memperlihatkan kasih sayang tersebut.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : ” Rasulullah saw mencium Hasan bin Ali dan disisinya ada Al Aqro bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Lalu Al Aqro berkata : ” Sesungguhnya aku mempunyai 10 anak. Aku tidak mencium salah seorangpun dari mereka”. Lalu Rasulullah memperhatikan Aqro kemudian berkata: ”Barangsiapa tidak menyayangi tidak akan disayangi.”
Begitu pula sebaliknya, Al-Quran dengan tegas melarang seorang anak berkata-kata dengan kasar apalagi membentak terhadap kedua orang-tuanya terutama ketika mereka telah lanjut usia, bahkan berkata “ ah” sajapun Allah SWT melarangnya.
” ……. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ”. (QS.Al-Isra’(17):23).
Tidak seperti hubungan antara suami-istri yang bisa saja tidak kekal dan abadi, hubungan antara anak dan kedua orang-tuanya mustahil terputus. Itu sebabnya Islam melarang adopsi atau mengangkat anak. Memelihara anak yatim piatu dan memperlakukannya seperti anak sendiri apalagi di rumah sendiri pula memang sangat mulia namun bukan mengakuinya sebagai anak kandung. Hak dan kewajiban manusia selaku anak kandung maupun selaku orangtua dan ibu yang pernah melahirkan seorang anak tidak pernah mungkin bisa dicabut. Hal ini terlihat jelas ketika seorang anak, terutama anak perempuan akan menikah, juga dalam hal waris.
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; …… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. …… Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu”.(QS.AlAhzab(33):4).
Dalam dunia kesehatan modern, pelarangan adopsi dengan menghilangkan asal usul keluarga aslinya, terbukti sangat penting. Ini terkait ketika anak adopsi akan melakukan pernikahan. Karena perkawinan incest / perkawinan antar anggota keluarga yang memiliki hubungan darah yang dekat dapat mengakibatkan penyakit / cacat seumur hidup. Ini bisa saja terjadi diantaranya karena ketidak tahuan bahwa calon pasangan pengantin tersebut mungkin sebenarnya bersaudara. Karena salah satu diantara mereka adalah anak adopsi yang tidak diketahui asal-usul kedua orang-tuanya.
Jadi jelas, dalam Islam tidak hanya kedudukan laki-laki dan perempuan yang sama, namun anakpun memiliki hak yang sama sebagaimana orang tua dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At Taubah 9:71)
Pada tahun ke 8 H, pada peristiwa penaklukan kota Makkah (Fathu-Makkah) yang ketika itu masih merupakan pusat perlawanan terhadap Islam, Rasulullah melakukan pembaiatan, yaitu janji untuk senantiasa mendengar dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Selesai Rasulullah membaiat kaum lelaki, Rasulullah membaiat kaum perempuan. Dalam baiat/sumpah tersebut, dinyatakan bahwa mereka tidak akan pernah mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka dan tidak berbohong.
Peristiwa ini menunjukkan betapa Rasulullah sangat menghargai kaum perempuan sehingga beliau merasa harus membaiat kaum perempuan secara khusus dan terpisah. Namun sebagaimana firman-Nya bahwa Ia menciptakan segala yang ada di alam semesta ini dalam bentuk berpasang-pasangan, begitu juga manusia. Laki-laki dan perempuan adalah pasangan. Adalah mustahil bagi segala sesuatu yang berpasangan itu sama. Jelas mereka harus dan pasti berbeda.
Allah menjadikan mereka dengan tujuan yang sama namun dengan fungsi yang berbeda agar dapat saling melengkapi dan menutupi. Bila salah satunya tidak berfungsi dengan baik maka akan terjadi ketimpangan yang berakibat rusaknya tatanan kehidupan ini. Mereka adalah bagaikan matahari dan bulan. Diperlukan pengaturan dan kerja sama yang sempurna diantara keduanya. Mustahil bagi mereka untuk saling ingin mendahului, saling bertukar tempat dan merasa lebih hebat karena masing-masing telah memiliki jalur dan jalannya masing-masing.
”Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”. (QS. Yaasiin (36):40).
Laki-laki dan perempuan wajib saling mengingatkan dan saling menasehati dalam kebaikan. Mereka harus hidup saling tolong menolong karena satu sama lain saling membutuhkan. Perumpamaan mereka adalah seperti sepasang kaki atau sepasang tangan. Keduanya harus bekerja sama dalam mencapai tujuan yang sama. Namun tidak mungkin mereka bertukar tempat karena masing-masing telah dibuat sesuai dengan kebutuhannya. Sebagaimana kaki kanan dan kaki kiri sama-sama membutuhkan sepatu namun tidak mungkin bertukar sepatu, kaki kanan tidak akan mungkin bisa mengenakan sepatu kiri dengan penuh kenyamanan begitu pula sebaliknya. Laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda agar saling melengkapi, saling mengisi. Fisik lelaki normalnya jauh lebih kuat dari pasangannya. Itulah sebabnya lelaki berkewajiban mencarikan nafkah, melindungi dan memberikan rasa keamanan bagi pasangan dan keluarganya.
”…… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf ”.(QS.Al Baqarah 2:233).
Rasullullah saw bersabda :“Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah,dinar yang kamu nafkahkan untuk budak,dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin dan dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Yang lebih besar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu”.
Itu pula sebabnya utusan yang dikirim Allah SWT kepada umat manusia selalu laki-laki. Karena tugas kerasulan adalah tugas maha berat yang tidak saja memerlukan fisik yang tangguh namun juga tanggung-jawab yang besar.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain(perempuan), dan karena mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ” (QS.An Nisaa’ (4):34).
Sang Pencipta yang mengatur semua ini, kita, kaum perempuan tidak perlu dan tidak sepantasnya iri dan dengki. Lagipula ayat diatas sama sekali tidak mencerminkan bahwa kedudukan perempuan menjadi direndahkan. Perumpamaan rumah tangga atau keluarga adalah bagaikan kapal yang sedang berlayar mengarungi samudra luas yang penuh tantangan dan berbahaya. Bila kapal ingin berjalan selamat sampai tujuan maka diperlukan hanya seorang nakhoda dalam mengarahkan kapalnya. Namun ia tetap memerlukan wakil, penasehat yang dapat terus mendampinginya, menasehati sekaligus mengingatkannya bila ia lalai. Disinilah kedudukan perempuan.
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.(QS.AlBaqarah(2):286)
Allah SWT tidak akan membebani mahluknya dengan sesuatu yang tidak akan sanggup ditanggungnya. Allah SWT menciptakan segala yang ada di alam semesta ini dengan penuh keseimbangan. Itulah sebabnya Allah SWT tidak memerintahkan kaum hawa untuk bekerja mencari nafkah untuk membiayai keluarganya. Ini adalah tanggung-jawab para suami sebagai seorang kepala keluarga. Ini pula yang menyebabkan mengapa hukum waris Islam menyatakan bahwa bagian antara anak lelaki dan perempuan adalah 2 banding 1.
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; ………Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.An-Nisa’(4):11).
Allah telah menetapkan bahwa pada harta dan kekayaan seorang lelaki berkeluarga ada sebagian hak dan milik istri serta anak-anaknya yang harus dipenuhi. Sebaliknya harta dan kekayaan seorang perempuan adalah sepenuhnya milik dan hak perempuan itu sendiri. Namun demikian, bila seorang perempuan/istri memilki harta berlebih, di lain pihak sang suami tidak memiliki apa-apa ( miskin ), si istri boleh memberikan sebagian hartanya itu kepada suami. Ini adalah bagian dari sedekah istri.
Abu Sa’id al-Khudri ra berkata : ” Zainab, istri Ibnu Mas’ud, bertanya, Ya Nabi Allah, hari ini engkau menyuruh mengeluarkan sedekah dan aku mempunyai perhiasan yang hendak aku sedekahkan. Tetapi menurut anggapan Ibnu Mas’ud ( suaminya) , ia beserta dan anaknya adalah orang-orang yang paling berhak menerima sedekah itu dari saya. Nabi saw bersabda , ” Benarlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud itu. Suami dan anakmu adalah orang yang paling berhak menerima sedekah darimu”. (HR Bukhari).
“ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah(9):60).
Laki-laki dilebihkan atas kaum perempuan, ini dikarenakan adanya penekanan bahwa kaum lelaki wajib bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Lelaki, khususnya para suami dibebani tugas semampunya untuk memberikan fasilitas sandang, pangan dan papan bagi keluarganya. Sebagai imbalan maka perempuanpun sebagai seorang istri yang baik musti mempertanggung-jawabkan apa yang telah diberikan suaminya tersebut. Ia wajib menjaga ( mempergunakan dengan baik) harta yang dengan susah payah dicari suaminya itu. Disamping itu, selama kepergiaan suami mencari harta, si istri dituntut agar pandai menjaga dirinya.
Syahdan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab adalah seorang laki-laki yang ingin melaporkan kecerewetan istrinya kepada sang khalifah. Namun apa yang didapati lelaki tersebut? Begitu ia sampai di depan pintu rumah Umar, ia mendengar suara istri Umar yang sedang mengomel. Suaranya begitu kencang dan penuh emosi, terdengar bahkan lebih cerewet dari istri yang ingin diadukannya. Sebaliknya tak sedikitpun terdengar suara Umar.
Maka dengan diam-diam lelaki itupun pergi meninggalkan tempat tersebut. Ia berpikir dengan heran apa yang menyebabkan sang khalifah yang dikenal begitu gagah dan tegas itu diam seribu bahasa menghadapi kecerewetan istrinya itu. Dan bila Umar saja dapat bersabar menghadapi masalah tersebut mengapa pula ia harus kecewa terhadap tingkah laku istrinya? Selidik punya selidik akhirnya ia tahu apa yang menyebabkan Umar diam. Umar berkata bahwa istri patut sekali-sekali melampiaskan kekesalannya karena tugas istri memang berat. Dan sudah sepantasnya bila si suami ridho menerimanya.
Alasan pertama mengapa seorang suami harus ridho adalah karena seorang istri telah membebaskan suami dari fitnah nafsu syahwat yang senantiasa dihadapi seorang suami sebagai laki-laki ketika ia harus berada di luar rumah untuk mencari nafkah. Dengan kata lain istri adalah penghalang api neraka. Yang kedua, istri telah dengan susah payah selama 9 bulan mengandung anak-anaknya dan kemudian mendidiknya pula. Yang ketiga karena dengan adanya istri di rumah yang mau menjaga harta yang dengan cucuran keringat dicarinya, maka seorang suami dapat bekerja dengan tenang tanpa rasa khawatir kehilangan hartanya tersebut dan juga karena istrinya ia termotivasi untuk bekerja. Alasan terakhir, karena istrinya ia dapat pulang ke rumah dengan harapan istrinya itu akan menyambutnya dengan suka cita, memberikan perhatian, kasih sayang sekaligus menyediakan makanan sebagai ganti energi yang telah terkuras sepanjang hari karena bekerja keras.
Disamping mencari nafkah, suami bertugas untuk mengayomi, melindungi sekaligus mendidik istri dan anak-anaknya. Sebaliknya para istri sebagai kaum perempuan telah diciptakan-Nya dalam keadaan memiliki kehalusan dan kelemah-lembutan yang nantinya akan diperlukan dalam rangka mendidik dan merawat anak-anaknya. Kaum ibu selain ratu dalam keluarga ia juga adalah guru dan keteladanan bagi anak-anaknya.
Itulah sebabnya perempuan harus pandai. Ia harus menuntut ilmu agar ia mengerti tugas dan tanggung jawabnya. Pendidikan moral dan etika pergaulan seperti kejujuran, kesopanan, menjaga kehormatan, menjaga hubungan baik dengan tetangga, amanah dll adalah salah satu pendidikan penting yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Keimanan harus ditanamkan bahkan ketika masih didalam kandungan karena sebenarnya ketika itu bayi sudah dapat merasakan hal tersebut.
Oleh sebab itu seorang ibu yang sedang mengandung dianjurkan untuk memperbanyak zikir, baik melalui shalat maupun membaca Al-Quran/mengaji. Ilmu yang wajib dimiliki seorang perempuan sebagai ibu selain ilmu untuk mengenal Allah SWT adalah ilmu apapun yang dapat mendekatkan diri dan anak-anaknya kepada Sang Pencipta. Mengenal lingkungan, baik lingkungan tetangga maupun lingkungan alam, mencintai dan menyayangi segala yang ada di alam semesta, contohnya ilmu agama, adalah bagian dari ilmu yang harus dikuasai seorang perempuan. Karena dengan pengetahuan tersebut seorang anak dapat mengenal Tuhannya.
Ilmu yang seperti ini hukumnya adalah fardhu’ ain, artinya wajib dimiliki oleh setiap diri. Sedangkan ilmu pengetahuan umum yang sifatnya hanya untuk kepentingan duniawiyah saja seperti ilmu Matematika, ilmu Ekonomi, Fisika, Kimia, Bahasa, Sejarah dll hukumnya adalah fardhu kifayah yaitu wajib dimiliki oleh setiap kelompok orang, bukan setiap diri. Ilmu seperti ini diperlukan karena dapat mempermudah kehidupan dunianya. Dan tentu saja bila dengan ilmunya tersebut seseorang bisa menolong sesamanya dari kesulitan sehingga orang tersebut menjadi berusaha mendekatkan diri kepada-Nya maka Allah SWT akan membalas perbuatan tersebut dengan imbalan yang setimpal pula.
Rasullulah menegaskan, tiga hal yang tidak terputus pahalanya & terus mengalir bagi manusia walaupun ia telah tiada, yaitu : amal-shalehnya, ilmunya yang terus diamalkan untuk kebaikan umat dan doa anak yang shaleh.
Allah berfirman : ”Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”.(An-Nisaa’ 4:124)
Perempuan-perempuan yang menguasai minimal ilmu pengetahuan agama kemudian mencontohkannya dalam prilaku kesehariannya dapat dipastikan kelak akan mencetak manusia-manusia berkwalitas, manusia-manusia bermoral yang akan mampu memimpin sebuah bangsa besar. Mereka adalah bibit unggul yang akan menghasilkan benih-benih yang unggul pula. Baginya kemenangan di dunia dan di akhirat. Tampaknya pepatah yang berbunyi “ Maju-mundurnya sebuah bangsa tergantung kaum perempuannya” ataupun “ Surga dibawah telapak kaki ibu” tidaklah keliru.
Wallahu’alam bishawab.
Jakarta, April 2009
Vien AM.
Read Full Post »